Pengamat Khawatir OJK Jadi Lembaga Super Power
RUU OJK:

Pengamat Khawatir OJK Jadi Lembaga Super Power

RUU OJK belum mengatur dengan tegas siapa yang akan mengawasi lembaga tersebut.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Sistem pelaporan yang dilakukan oleh OJK dinilai <br>  sangat longgar khawatir OJK jadi lembaga super <br> power. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Sistem pelaporan yang dilakukan oleh OJK dinilai <br> sangat longgar khawatir OJK jadi lembaga super <br> power. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Dibandingkan aturan yang diterapkan kepada Bank Indonesia (BI), sistem pelaporan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai sangat longgar. Soalnya, dalam RUU OJK tak dijelaskan oleh siapa lembaga ini diawasi. Pasal 36 yang mengatur soal pelaporan dan akuntabilitas hanya mengatur mengenai kewajiban OJK untuk menyampaikan laporan kegiatan kepada DPR dan Presiden.

 

“Jadi belum jelas siapa yang mesti mengawasi lembaga OJK nantinya,” kata Ekonom Danareksa, Purbaya Yudhi Sadewa.

 

Tidak jelasnya aturan mengenai hal ini, lanjut Yudhi, akan membuat OJK seperti sebuah badan pengawas sistem finansial yang lebih kuat dari BI, bahkan dari Pemerintah. Padahal di negara lain, praktiknya tidak demikian.

 

Pasal lain yang perlu diperhatikan dalam RUU OJK adalah Pasal 37 ayat (4).  Pasal ini menyatakan, untuk memastikan dan memelihara stabilitas sistem keuangan, dalam pengawasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BI dapat melakukan pengawasan langsung dan/atau pengawasan tidak langsung terhadap bank.

 

Menurut Yudhi, pasal tersebut sebenarnya cukup baik mengingat BI perlu mendapat akses data perbankan yang cepat dan tepat. Namun, aturan itu berbenturan dengan pasal sebelumnya yang mengatur soal dewan komisioner. Pasal 5 ayat (5) poin b mengatakan, anggota dewan komisioner di lembaga OJK juga berasal dari ex-officio Bank Indonesia.

 

“Lantas apakah dengan duduk sebagai dewan komisioner di OJK BI bisa memakai informasi dari OJK untuk keperluannya sendiri,” ujarnya.

 

Yudhi berpandangan, kewenangan menggunakan informasi data dari OJK untuk kepentingan BI belum diatur dalam RUU OJK. Padahal, hal ini sangat penting bagi bank sentral sebagai early warning system untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat terhadap keadaan perbankan nasional.

 

Sebelumnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga berharap kehadiran OJK nanti bisa membuka jalan untuk memperoleh akses informasi perbankan. Hal itu diperlukan untuk menghitung dan mengelola risiko yang harus dihadapi permasalahan bank gagal. Demikian disampaikan Ketua LPS, Firdaus Djaelani.

 

Menurut Firdaus, saat ini LPS hanya mendapat sedikit informasi data perbankan. Hal ini ironis mengingat lembaganya memikul tanggung jawab besar jika terjadi masalah di industri perbankan. “Agar optimal dalam bertugas, kami tak ingin mendapat hal-hal yang sifatnya mendadak, sehingga tak bisa memprediksi berapa besar risiko yang akan dihadapi,” ujarnya.

 

Sekadar catatan, beban kerja LPS dijabarkan dalam Pasal 38. Ayat (1) pasal ini menyatakan, OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

 

Ayat (2), OJK menyerahkan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU tentang LPS. Ayat (3), dalam rangka penyelesaian dan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik, OJK wajib menginformasikan kepada forum stabilitas sistem keuangan tentang bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.     

 

Memang, kata Firdaus, saat ini LPS memiliki laporan keuangan dari bank. Namun laporan keuangan itu umumnya hanya berisi neraca rugi laba. “Padahal, kita juga perlu tahu seperti apa pengawasan terakhir yang dilakukan BI terhadap industri perbankan,” pungkasnya.

Tags: