Pengamat Dukung Penurunan Nilai Pembebasan Bea Masuk Barang Impor e-Commerce
Berita

Pengamat Dukung Penurunan Nilai Pembebasan Bea Masuk Barang Impor e-Commerce

Kebijakan ini sendiri mulai berlaku pada 30 Januari mendatang.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengaku mendukung langkah pemerintah melakukan perubahan nilai pembebasan bea masuk barang impor e-commerce. Menurutnya, selama ini banyak pedagang yang tidak jujur melaporkan harga barang yang diimpor dari luar negeri. Hal ini seperti tertuang dalam ketentuan impor terbaru terkait barang kiriman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.04/2019.

 

“Selama ini hal semacam ini dijadikan celah untuk memasukkan barang dengan underpricing. Jadi seolah-olah di bawah 75 dolar sehingga tidak kena pajak-pajak dan bisa dijual murah di sini,” kata Yustinus kepada hukumonline, Jumat (17/1).

 

Perilaku semacam itu, lanjutnya, jelas merugikan dua belah pihak, baik dari pihak importir yang jujur dan merugikan produsen domestik. Meski demikian, terdapat beberapa barang yang juga turut dibatasi dan diberikan pengecualian seperti obat-obatan, buku, dan sebagainya sesuai dengan kepentingan perdagangan.

 

“Betul, jadi selama ini batas 75 dolar itu disalah gunakan memang, banyak orang memasukan barang dengan harga di bawah 75 dolar sehigga tidak kena pajak. Sekarang dengan 3 dolar praktis hampir semua kena meskipun pengenaannya beda-beda tarifnya,” imbuhnya.

 

Dengan adanya aturan baru tersebut, setidaknya pemerintah bisa mencegah impor barang dan melindungi UMKM dalam negeri.

 

Sementara itu dari sisi penerimaan, aturan ini justu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Penambahan penerimaan itu tidak cuma berasal dari bea masuk, tetapi juga dari obyek PPN.

 

Yang menjadi catatan adalah pemerintah harus memastikan agar barang-barang yang dibutuhkan publik namun belum tersedia di dalam negeri tidak mendapatkan hambatan untuk masuk ke dalam negeri. Artinya diperlukan adanya insentif atau pengecualian agar produk tidak menjadi mahal saat dijual di pasar domestik.

 

“Dari sisi perdagangan yang penting itu jangan sampai aturan itu menghambat barang-barang yang secara publik dibutuhkan tetapi belum dibuat di dalam negeri. Itu harus dibuat pengecualian sehingga brang-barang itu bisa masuk, karena kalau tidak bisa menjadi mahal saat diproduksi. Ketika itu barang setengah jadi dan dibutuhkan untuk konsumsi dalam negeri itu menjadi mahal, prosedurnya jangan sampai dipersulit dan jangan sampai memperpanjang birokrasi. Insentif untuk menekan biaya dalam negeri sendiri,” katanya.

 

(Baca: Begini Rekomendasi LIPI untuk Antisipasi Banjir Impor e-Commerce)

 

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC) melakukan revisi terhadap nilai pembebasan bea masuk barang impor e-commerce. Jika sebelumnya barang bebas bea masuk dengan nilai maksimal 75 dolar AS, saat ini setiap barang yang bernilai 3 dolar AS wajib membayar bea masuk. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Aturan ini berlaku per kiriman mulai 30 Januari 2020.

 

"Meski bea masuk barang kiriman dikenakan tarif tunggal, pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan perajin dan produsen," kata Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea Cukai Syarif Hidayat seperti dikutip Antara, Senin (13/1).

 

Pemerintah merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5-37,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, dan PPh 10 persen dengan NPWP, dan PPh 20 persen tanpa NPWP menjadi sekitar 17,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 0 persen).

 

Menurut Syarif, sebelum ada aturan baru itu, perajin dan produsen dalam negeri mengeluhkan produk mereka tidak laku di pasar karena membanjirnya produk impor. Kondisi itu, kata dia, mengakibatkan sentra pengrajin tas, produk garmen dan sepatu banyak yang gulung tikar dan hanya menjual produk-produk Cina.

 

Melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, pemerintah telah menetapkan tarif bea masuk normal untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen.

 

Besaran untuk produk tas yakni mencapai 15-20 persen, sepatu mencapai 25-30 persen dan 15-25 persen untuk produk tekstil dengan PPN sebesar 10 persen, dan PPh sebesar 7,5 hingga 10 persen.

 

"Penetapan tarif normal ini demi menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan antara produk dalam negeri yang mayoritas berasal dari industri kecil menengah dan dikenakan pajak dengan produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum," katanya.

 

Dalam kesempatan itu, Syarif mengimbau perusahaan jasa titipan untuk mentaati aturan tersebut dengan tidak melakukan modus pelanggaran. Pelanggaran itu antara lain memecah barang kiriman atau memberitahukan harga di bawah nilai transaksi.

 

"Kami harap dengan adanya aturan baru ini, fasilitas pembebasan bea masuk untuk barang kiriman dapat benar-benar dimanfaatkan untuk keperluan pribadi dan mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri," ucapnya. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait