Pengamat: Terbitnya Perppu Bukti UU Cipta Kerja Tidak Berkualitas
Terbaru

Pengamat: Terbitnya Perppu Bukti UU Cipta Kerja Tidak Berkualitas

Perppu menghambat pembahasan ulang revisi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Untuk itu, pemerintah diminta mencabut Perppu No.2 Tahun 2022 dan segera menindaklanjuti Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pengamat Hukum Perburuhan Timboel Siregar. Foto: Dokumen Hukumonline
Pengamat Hukum Perburuhan Timboel Siregar. Foto: Dokumen Hukumonline

Serikat buruh telah menggelar demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap pemerintah atas terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Bahkan, sudah ada sejumlah warga negara yang telah mengajukan permohonan pengujian Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengamat hukum perburuhan Timboel Siregar mencatat klaim pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyebut Perppu Cipta Kerja sebagai komitmen pemerintah memberikan perlindungdan terhadap pekerja/buruh dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.

Sebagian pernyataan Ida Fauziyah itu menurut Timboel tidak tepat. Justru terbitnya Perppu itu menyumbat pembahasan ulang terhadap revisi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil UU No.11 Tahun 2020 jelas memerintahkan pelibatan masyarakat dalam pembahasan ulang UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan pelaksanaannya.

“Sebenarnya penambahan dan revisi beberapa pasal dalam Perppu No.2 Tahun 2022 adalah bentuk ketidakcakapan dan tidak berkualitas Pemerintah dan DPR dalam menyusun UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Timboel saat dihubungi, Senin (15/1/2023).

Baca Juga:

Timboel mencatat UU No11 Tahun 2020 tidak mengubah Pasal 84 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat berhak mendapat upah penuh. Tapi ketentuan itu diubah melalui Perppu No.2 Tahun 2022, tapi ada yang tidak sinkron antara pasal 84 dan pasal 79. Akibatnya, ketika membaca Pasal 84 UU No.13 Tahun 2003 tidak selaras dengan Pasal 79 ayat (2) UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah menyadari kesalahan itu, sehingga Pasal 84 dibenahi melalui Perppu No.2 Tahun 2022.

Hal serupa juga ketika mengubah judul paragraf 1 bab X dan Pasal 67 UU No.13 Tahun 2003, sehingga sekarang menggunakan istilah Penyandang Disabilitas. Timboel melihat Perppu Cipta Kerja memunculkan kembali Pasal 64 tentang alih daya (outsourcing) yang sebelumnya dihapus oleh UU No.11 Tahun 2020. Hal itu tidak memberi kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha. Ketentuan tersebut membuat ketidakpastian ketika menggunakan pekerja outsourcing yaitu hanya untuk pekerjaan yang bersifat penunjang.

Mengingat pelaksanaan Pasal 64 itu akan dilakukan dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP), Timboel menilai peraturan itu akan membuka ruang yang sangat luas bagi pemerintah untuk mengatur, sehingga berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha. “Harusnya ketentuan yang diatur Perppu tegas seperti UU No.13 Tahun 2003 yang menyebut pekerjaan yang bisa menggunakan mekanisme alih daya adalah pekerjaan yang bersifat penunjang,” ujarnya.

Begitu juga dengan ketentuan upah minimum dimana Perppu merevisi Pasal 88D ayat (2) UU No.11 Tahun 2020 dengan menambah frasa “indeks tertentu.” Penambahan frasa itu menunjukkan formula kenaikan upah minimum yang diatur Pasal 26 PP No.36 Tahun 2021 tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya seperti yang terjadi dalam penetapan upah minimum tahun 2022. Kenaikan upah minimum tahun 2022 rata-rata 1,09 persen dan tergerus inflasi yang mencapai 5,51 persen.

Menurut Timboel, ketentuan Pasal 88D ayat (2) Perppu Cipta Kerja tidak memberi kepastian bagi pekerja dan pengusaha. Hal itu karena pemerintah menambah Pasal 88F yang intinya mengatur dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana Pasal 88D ayat (2). Ketidakpastian ini berpotensi menciptakan protes dari kalangan pengusaha dan serikat pekerja/buruh.

“Seharusnya pemerintah menciptakan kepastian formula kenaikan upah minimum, bukan malah menciptakan potensi konflik tahunan tentang upah minimum,” kritiknya.

Timboel mengusulkan pemerintah mencabut Perppu No.2 Tahun 2022 dan segera menindaklanjuti Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dengan melibatkan partisipasi publik bermakna dalam membenahi UU No.11 Tahun 2020. Pelibatan publik secara bermakna dan berkualitas itu penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Tags:

Berita Terkait