Pengamat: Saham Istimewa Anak Usaha Holding Perlu Ditelusuri
Berita

Pengamat: Saham Istimewa Anak Usaha Holding Perlu Ditelusuri

Perlu ditelusuri apakah perusahaan induk masih memiliki pengendalian penuh bila pemerintah memiliki saham seri A dengan hak istimewa.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pengamat ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Ersa Tri Wahyuni, menilai perlu penelusuran mendalam terkait sejauh mana kewenangan pemerintah atas saham istimewa pada anak usaha holding BUMN yang baru dibentuk pemerintah.

 

"Kita perlu melihat secara kasus per kasus, pemerintah punya hak apa di saham seri A tersebut. Kalau dari sudut pandang akuntansi sederhana saja, perusahaan induk dapat mengkonsolidasi anak perusahaan bila memiliki hak saham pengendalian," kata Ersa Tri Wahyuni, seperti dikutip Antara, Kamis (18/1).

 

Menurut Ersa yang juga Dosen Akuntansi Unpad ini, perlu ditelusuri apakah perusahaan induk masih memiliki pengendalian penuh bila pemerintah memiliki saham seri A dengan hak istimewa seperti yang tertulis dalam PP No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas.

 

"Bila dilihat kasus Indosat, kan Pemerintah juga punya saham seri A di sana, tapi Indosat tetap dikonsolidasi oleh perusahaan induknya karena hak pemerintah tidak terlalu luas seperti di PP 72. Jadi harus dilihat satu satu kasusnya." ujarnya.

 

Sebelumnya, beberapa kalangan berpendapat bahwa pembentukan holding BUMN terutama sektor Pertambangan yang mengalihkan saham milik dari PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65 persen, PT Bukit Asam (PT BA) Tbk sebesar 65,02 persen, PT Timah Tbk sebesar 65 persen, kepada PT Inalum (Persero), tidak bisa dikonsolidasikan karena terkendala dengan saham istimewa pada anak usaha holding.

 

(Baca Juga: Isu Monopoli dan Kepailitan di Tengah Holding BUMN Tambang)

 

PP 72/2016 menyebutkan bahwa, dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.

 

Saham istimewa dwi warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Karena jika dipaksakan akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sedangkan PSAK 65 juga terintegrasi atau merefer ke International Financial Reporting Standart (IFRS).

 

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih, menyayangkan langkah holding yang terkesan terburu-buru hingga tanpa melibatkan persetujuan DPR. Demikian juga dengan rencana holding sektor migas yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

 

(Baca Juga: BUMN Tidak Boleh Berlindung di Balik Hak Monopoli)

 

Pemerintah, ujar Eni, seharusnya menunggu rampungnya pembahasan RUU migas yang sedang digodok oleh DPR, agar tata kelola kelembagaan migas dapat diperbaiki secara holistik dan tidak terjadi kerancuan. "Selain itu, holding juga perlu persetujuan DPR meskipun niat dan tujuan holding itu baik, kalau tidak ada pengawas dari DPR, itu bahaya," katanya.

 

Ia menjelaskan, jika pembentukan holding ini tidak mampu mengkonsolidasikan nilai aset, maka tujuan holding untuk memperbesar neraca keuangan sebagai jaminan mendapatkan tambahan modal akan tidak tercapai. Dengan begitu, ekspansi usaha yang diharapkan tidak terjadi dan bisnis perusahaan hanya berjalan seperti biasanya.

 

Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan pembentukan holding BUMN Migas akan diwujudkan untuk mendorong efisiensi dan kemandirian dalam bidang energi. "Aktivitasnya akan tetap berjalan seperti sekarang, tetapi lebih efisien," ujar Rini.

 

Penyatuan BUMN yang bergerak dalam bidang energi, seperti PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) ini akan memperkuat peran pemerintah dalam sektor migas. "Untuk bisa menjadi negara yang mandiri dari sisi energi, otomatis kita harus memiliki BUMN yang kuat dan efisiensi dalam berinvestasi," ujar Rini. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait