​​​​​​​Pengakuan Hakim atas Perlawanan Pihak Ketiga dalam Eksekusi
Landmark Decisions MA 2017

​​​​​​​Pengakuan Hakim atas Perlawanan Pihak Ketiga dalam Eksekusi

Sudah pernah ada yurisprudensi sebelumnya. Hukum acara perdata memang mengakui derden verzet.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Duit negara hampir Rp37 miliar harus dialokasikan dalam APBN/APBD untuk membayar ganti rugi kepada sebuah perusahaan di Riau, Pekanbaru. Penganggaran ini buntut dari penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam sengketa tanah. Penggugat memenangkan gugatan sampai putusan berkekuatan hukum tetap.

 

Namun, eksekusi itu tak jadi dijalankan, duit negara terselamatkan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pihak ketiga yang berkepentingan, yakni Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) keluar, pimpinan Universitas Riau lega. Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Universitas Riau, Sujianto, seperti dimuat dalam laman resmi perguruan tinggi itu, mengungkapkan rasa syukur.

 

“Mudah-mudahan apa yang telah ditetapkan oleh MA ini tidak lagi ada gugatan dan bisa menjadi berkah bagi kita semua. Selain itu, kita juga telah bisa kembali melaksanakan kemaslahatan pengembangan Sumber Daya Manusia khususnya di bidang pendidikan,” ujarnya seperti dikutip Hukumonline.

 

Putusan Mahkamah Agung No. 349 PK/Pdt/2017 telah menegaskan kembali kaidah hukum tentang hak pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu perkara. Pihak ketiga dimaksud adalah DJKN Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan mengajukan bantahan terhadap eksekusi.

 

Baca juga:

 

Sebenarnya, yang berperkara langsung adalah PT HTJ melawan Kementerian Pendidikan Nasional, Pemerintah Provinsi Riau, dan Universitas Riau. Ketua Pengadilan Negeri Riau bahkan sudah mengeluarkan perintah eksekusi pembayaran sejumlah uang dimaksud. Lewat penetapan No. 26/Pdt.G/2007/PN.Pbr juncto No. 75/Pdt.G/2007/PN.Pbr, Ketua Pengadilan “memerintahkan kepada termohon eksekusi I (Departemen Pendidikan Nasional), termohon eksekusi II (Pemerintah Provinsi Riau), dan termohon eksekusi V (Univeritas Riau), untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada penggugat/pemohon eksekusi (PT HTJ) sebesar Rp36.981.000.000,- dengan menganggarkan dalam APBN/APBD yag berjalan atau APBN Perubahan/APBD perubahan pada tahun berjalan ataupun dianggarkan”.

 

Majelis hakim PK –Soltoni Mohdally, Panji Widagdo, dan Ibrahim—menerima upaya hukum luar biasa yang diajukan Kementerian Keuangan, dan membatalkan putusan PN Pekanbaru No. 159/Pdt.Bth/2015. Alasannya, telah ditemukan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata. Hakim judex facti dinilai salah atau keliru dalam menerapkan hukum acara terkait proses eksekusi perkara sebagaimana dituangkan dalam Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 26/Pdt.G/2007/PN.Pbr juncto Nomor 75/Pdt.G/2007/PN.Pbr.

 

Selain itu, MA juga menilai bahwa Menteri Keuangan sebagai pemilik barang milik negara yang akan dieksekusi, tidak turut sebagai para pihak dalam perkara pokok sehingga tidak dapat dituntut untuk melaksanakan putusan tersebut. Langkah Kemenkeu mengajukan bantahan dinilai sudah tepat.

 

Hukumonline.com

 

Dosen Hukum Acara Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Sri Laksmi Anindita, mengatakan bahwa kaidah yang diangkat dari putusan di atas sudah benar. Perlawanan pihak ketiga atau derden verzet dikenal dalam hukum acara perdata Indonesia. “Jadi kalau kaidah hukumnya saya sepakat itu. Memang ada ketentuannya dan ada literaturnya,” ujar Laksmi kepada Hukumonline melalui sambungan telepon, Senin (12/3).

 

M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa derden verzet merupakan upaya hukum atas penyitaan milik pihak ketiga. Pihak ketiga yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan dalam bentuk derden verzet atau perlawanan pihak ketiga terhadap conservatoir beslag (sita jaminan). Salah satu yurisprudensi yang menopang hukum acara ini adalah putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991 yang menjelaskan, sita jaminan yang diletakkan di atas milik pihak ketiga memberi hak kepada pemiliknya untuk mengajukan derden verzet.

 

Pasal 195 (6) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) menyatakan: “Jika hal menjalankan putusan itu dibantah, dan juga jika yang membantahnya itu orang lain, oleh karena barang yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, dihadapkan ke pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi, hal menjalankankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan tersebut.”

 

Dalam putusan lain (No. 185/Pdt.Plw/2010/PN. Slmn) hakim menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 378 dan Pasal 379 Rechtsvordering (Rv), untuk dapat dikabulkannya perlawanan pihak ketiga diperlukan terpenuhinya dua unsur, yaitu: adanya kepentingan dari pihak ketiga; dan secara nyata hak pihak ketiga dirugikan.

 

Sri Laksmi menjelaskan, langkah DJKN Kemenkeu melakukan PK tersebut bisa jadi karena merasa menjadi bagian dari pihak ketiga yang merasa kepentingannya dirugikan. “Mungkin alasan dia (DJKN Kemenkeu) mengajukan PK tersebut karena dia adalah pihak ketiga yang berkepentingan,” terang Laksmi.

 

Di buku yang sama, Yahya Harahap menuliskan  penyelesaian suatu perkara tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 KUH Perdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara, hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara saja.

 

Baca:

 

Perkara Pokok

Perkara ini bermula dari pembangunan Gedung Fakultas Hukum Universitas Riau di atas lahan yang telah dibeli oleh PT HTJ dari sejumlah warga yang mengaku memiliki hak yang sah atas tanah. Pada Desember 2005, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pekanbaru mengeluarkan peta lahan sengketa antara Universitas Riau dengan HTJ. Dari peta tersebut diketahui bahwa seluruh lahan pembangunan Fakultas Hukum Universitas Riau berada dalam wilayah sengketa.

 

Terhadap sengketa ini sebelumnya telah ada upaya pemerintah Provinsi Riau untuk menengahi kedua belah pihak. Proses mediasi gagal karena tidak sepakat mengenai besarnya ganti rugi. Pihak kampus menyerahkan urusannya ke pengadilan. Pada 16 Agustus 2007, HTJ mendaftarkan gugatan ke PN Pekanbaru, menggugat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas); Pemerintah Propinsi Riau; Gubernur Riau; Panitia Pembebasan Tanah Daerah Tingkat II Kampar; Universitas Riau; dan Badan Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru.

 

Majelis Hakim PN Pekanbaru dalam putusannya menyampaikan tiga hal. Pertama, terkait status tanah, Majelis Hakim menyatakan pada saat HTJ membeli lahan (yang kemudian di atasnya dibangun gedung Fakultas HUkum Universitas Riau) dari warga, lahan tersebut tidaklah dalam status sengketa dengan pihak manapun. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Keterangan Ganti Rugi dari lurah setempat. Selain itu, proses proses jual beli dilakukan secara terang dan tunai di hadapan kepala desa setempat.

 

Kedua, terkait benar tidaknya para penjual berhak atas tanah yang dijualnya, HTJ mampu menunjukkan surat dasar pembelian tanah dari para penjual tanah berupa surat keterangan kepemilikan tanah milik warga. Untuk itu Majelis Hakim memutuskan bahwa HTJ telah membeli tanah dari pemilik yang sah. Ketiga,  terkait apakah benar tanah berada dalam Kawasan kampus Universitas Riau? Terhadap hal ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa bidang tanah yang menjadi sengketa tersebut berada dalam Kawasan kampus Universitas Riau.

 

PN Pekanbaru mengabulkan gugatan penggugat. Majelis hakim menyatakan bidang tanah yang menjadi sengketa merupakan sah milik perusahaan dan menghukum tergugat menyerahkan tanah kepada penggugat dalam keadaan kosong atau secara tanggung renteng membayar ganti rugi sebesar Rp36.981.000.000,-, serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.444.000,-.

 

Tak puas dengan putusan PN, tergugat mengajukan banding ke Pengadillan Tinggi Pekanbaru.  Hakim banding menganggap tidak ada hal baru dalam memori banding yang diajukan pembanding, hanya berupa pengulangan fakta sementara semuanya sudah dipertimbangkan dalam putusan PN. Selebihnya, putusan sebelumnya dianggap tepat dan benar. Terhadap putusan banding, pihak pembanding lalu mengajukan kasasi ke Mahkmah Agung (MA). Lagi-lagi pengadilan menolak permohonan kasasi.

 

Ketika sudah ada perintah eksekusi, muncul perlawanan dari Kementerian Keuangan.

Tags:

Berita Terkait