Pengakuan dan Penyesalan Terdakwa Kasus e-KTP
Berita

Pengakuan dan Penyesalan Terdakwa Kasus e-KTP

Andi Narogong mengungkap peran Setya Novanto dan mantan bos Gunung Agung serta pemberian jam Rp1,3 miliar kepada Novanto dan juga pemberian ruko adik Gamawan Fauzi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Andi Narogong saat memberi keterangan di sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/11). Foto: Aji
Terdakwa Andi Narogong saat memberi keterangan di sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/11). Foto: Aji

Andi Narogong atau Andi Agustinus menerangkan panjang-lebar tentang bagaimana dirinya bisa terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Pria yang berprofesi sebagai pengusaha ini juga mengungkap peran sejumlah anggota dewan termasuk Ketua DPR saat ini, Setya Novanto.

 

Kejadian ini bermula ketika konsorsium PNRI memenangkan lelang proyek e-KTP. Ketika itu Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman meminta pekerjaan dibagi rata anggota konsorsium, sehingga nama PNRI hanyalah kamuflase semata. Tetapi hal itu ditolak oleh Paulus Tannos, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra.

 

Hal ini pun membuat Irman marah sehingga mempersulit konsorsium mendapatkan uang muka proyek e-KTP. Kemudian pihak konsorsium pun mencari akal dengan meminjam uang dari berbagai pihak untuk mendapatkan modal pengerjaan proyek.

 

Paulus pada November 2011 juga mengundang para anggota konsorsium ke rumah Setya Novanto untuk melaporkan adanya kesulitan tersebut. Mereka yang hadir diantaranya Andi Narogong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, Bos PT Biomorf Johannes Marliem.

 

"Akhirnya Pak Nov bilang ya udah nanti saya kenalkan Oka Masagung (mantan Bos PT Gunung Agung) karena punya link perbankan," ujar Andi dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/11/2107).

 

Namun ternyata peran Oka tidak hanya sampai situ saja. Menurut Andi pada pertemuan tersebut pihak konsorsium juga menyatakan adanya komitmen fee untuk anggota dewan sebesar 5 persen. "Akhirnya bicara fee DPR nanti yang urus Oka," terang Andi.

 

"Itu kata Setya Novanto? Fee DPR diberikan melalui Oka?" tanya Jaksa KPK Irene Putri yang langsung dibenarkan Andi Narogong.

 

Andi kembali menceritakan masih sekitar November ia kembali diundang Paulus ke kediaman Novanto. Dan disitu sudah ada Made Oka Masagung. Pertemuan itu seakan mempertegas pertemuan yang telah terjadi sebelumnya. "Saya dikenalkan ini Oka Masagung, nanti yang akan urus masalah fee DPR," sambungnya.

 

Ditagih fee

Pertemuan demi pertemuan membahas fee proyek e-KTP masih terus berlanjut. Diantaranya terjadi di salah satu kantor Setya Novanto. Dalam pertemuan ini, mantan Ketua Komisi II DPR RI Chairuman Harahap dan Setya Novanto juga hadir dan menagih komitmen fee untuk DPR sejumlah 5 persen.

 

Untuk memenuhi permintaan tersebut para konsorsium berusaha dengan berbagai cara. Setelah uang didapat, kemudian dikirim ke rekening Oka Masagung di Singapura. Setidaknya ada beberapa kali pengiriman yang diketahui Andi Narogong ke rekening Oka Masagung yang jumlahnya jutaan dollar Amerika.

 

Setelah itu tidak ada lagi tagihan yang datang dari pihak anggota dewan. "Enggak ada yang tagih kita anggap semua sudah terdistribusi," tutur Andi.

 

Oka Masagung sendiri pernah dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta beberapa waktu lalu. Namun ia mengaku lupa kepada siapa dan darimana uang tersebut berasal. Jaksa KPK Abdul Basir pun mengaku aneh atas keterangan Oka. Apalagi menurut Basir jumlah uang yang mengalir dan dialirkan kembali melalui rekening Oka berjumlah hampir US$6 juta.

 

Oka dua kali dihadirkan sebagai saksi dengan terdakwa Andi Narogong. Dalam keterangan pertama, ia mengakui mengenal Setya Novanto dan beberapa kali berinteraksi dengan Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Bahkan Novanto merupakan salah satu petinggi di perusahaannya dengan menjabat direktur Gunung Agung dimana ia kala itu dirinya adalah komisaris.

 

Patungan beli jam tangan Setnov

Agen khusus FBI Jonathan Holden seperti dilansir wehoville.com beberapa waktu lalu menyatakan Marliem mengakui memberi sejumlah uang dan benda lain kepada sejumlah pejabat di Indonesia terkait pengadaan e-KTP. Menurut agen Holden, Marliem saat memberikan pernyataan jika ia memberi jam tangan Richard Mille seharga US$135 ribu atau Rp1,8 miliar yang dibelinya di Beverly Hills.

 

Dalam persidangan ini Jaksa Abdul Basir menanyakan perihal pemberian tersebut. Basir merunut kejadian dengan menanyakan tanggal ulang tahun Novanto yang dijawab Andi Narogong pada 12 November. Baca Juga: Setnov Bersedia Tanda Tangani Berita Acara Pencabutan Pembantaran

 

Basir juga menanyakan apakah ada kejadian yang diketahui Andi tentunya berkaitan dengan suatu pemberian. Andi pun mengakui hal itu meskipun menurutnya tidak bertujuan untuk menggolkan proyek e-KTP, tetapi sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu cairnya anggaran.

 

"Jam tangan Richard Mille waktu itu saya membeli bersama Pak Johannes Marliem," terang Andi.

 

Jaksa Basir lantas meminta Andi menceritakan hal tersebut. "Jadi Pak Marliem bilang maksudnya mau memperhatikan Pak Setya Novanto. Sekitar tahun 2012 akhir. Memperhatikan dia bilang dia mau ulang tahun kita patungan untuk beli jam. Oke saya berikan kurang lebih  650 juta. Separuh harga jam, dan akhirnya Pak Marliem beli Richard Mille di Amerika," jelasnya.

 

Andi menyatakan jika harga jam tersebut ketika itu Rp1,3 miliar. Ia mengaku tidak mengetahui dimana lokasi persis Marliem membeli jam tersebut. Andi pun mengingat hal pembelian itu saat penyidik memperlihatkan foto jam yang dimaksud pada saat proses penyidikan.

 

Lalu bagaimana respon Novanto setelah diberikan jam seharga Rp1,3 miliar? "Pak Setya Novanto senang. Pak ini hadiah dari kami berdua ulang tahun bapak dan bantuan bapak selama ini," ujarnya.

 

Ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar pun angkat bicara terkait hal ini. Ia menanyakan dimana posisi jam tersebut saat ini karena memang tidak tercantum di dalam berkas penyitaan. Jaksa Basir memohon agar Andi Narogong sendiri yang menjelaskan hal ini.

 

"Jadi sebelum saya ditangkap awal 2017 saya ketemu Pak Novanto. Dan Pak Novanto kembalikan jam itu. Ini ribut-ribut e-KTP saya kembalikan. Kemudian saya jual, saya suruh Vidi jual ke Tata Watch di Blok M. Saya jual Rp1 miliar sekian. Kemudian Rp650 juta saya ambil sisanya saya berikan ke staf Johannes Marliem, Pak Raul kalau tidak salah," ungkap Andi.

 

Hakim Jhon tampak penasaran dan menyinggung kembali mengenai pembelian tersebut. Ia pun tampak tak percaya ada harga jam yang begitu mahal dan dengan mudahnya diberikan oleh Andi Narogong dan juga Johannes Marliem.

 

"Apabila tidak ada proyek e-KTP apa akan diberikan jam itu? Gokil harganya segitu," kata Hakim Jhon. Andi pun mengakui ia dan Marliem tidak akan memberikan jam semahal itu.

 

Jatah ruko adik Gamawan Fauzi

Selain mengungkap peran dan pemberian kepada Setya Novanto beserta orang-orang di sekitarnya, Andi juga mengakui memberikan jatah kepada adik dari Gamawan Fauzi, Azmin Aulia. Sebab menurutnya Azmin adalah salah satu kunci untuk mendapat proyek e-KTP.

 

Andi pernah diundang ke kediaman Paulus Tannos pada akhir 2010. Dan disana telah ada Azmin Aulia, Irman dan juga PPK dari proyek ini, Sugiharto. Inti dari pembicaraan yang ia dengar, Irman akan menjadi Dirjen Dukcapil dan Sugiharto salah satu direkturnya.

 

Kemudian beberapa bulan selanjutnya ia kembali bertemu Paulus. "Tenang saja Pak Andi, Pak Azmin sudah saya bereskan dengan beri ruko di Grand Wijaya. Ruko tersebut untuk aman saya balik namakan kepada istrinya jual beli Azmin dengan istri Paulus Tanos," kata Andi menirukan perkataan Paulus.

 

Jaksa KPK lainnya Ariawan menanyakan apa keperluan Paulus memberi Ruko tersebut. "Dalam rangka supaya bisa memenangkan proyek ini," tuturnya.

 

Karena itu ia pun akhirnya ikut dengan Paulus dan kelompoknya karena yakin telah memegang satu per satu pejabat di Kemendagri hingga pucuk tertinggi yaitu Mendagri yang kala itu dijabat Gamawan Fauzi. Sehingga ia menyebut jika peluang untuk memenangkan proyek cukup besar.

 

Menurut Andi dengan "diamankannya" Azmin berarti juga "mengamankan" Gamawan Fauzi. "Saya lihat adiknya bisa terafiliasi, dengan Pak Menteri, itu menurut penglihatan saya," jelasnya.

 

Majelis hakim sempat mempertegas pertanyaan ini kepada Andi mengenai pemberian ruko kepada Azmin. Sebab, dalam persidangan sebelumnya, Azmin selalu membantah menerima apapun terkait e-KTP. Namun menurutnya hal itu adalah hak Azmin untuk mengelak perihal pemberian ruko tersebut. "Saya tidak tahu yang mulia, itu keterangan masing-masing," kata Andi.

 

Menjelang akhir persidangan, Andi Narogong mengaku menyesal telah melakukan perbuatan kotor ini. Ia pun berjanji akan mengembalikan uang yang diperolehnya sebesar US$2,5 juta kepada negara. Meskipun ia sendiri mengaku telah mengeluarkan uang untuk mendapatkan pekerjaan e-KTP sebesar US$2,2 juta.

 

Majelis hakim pun menanyakan apakah ia yang notabene terlibat langsung dalam perkara ini beranggapan ada kerugian keuangan negara dari kasus ini? Sebab ada anggapan miring jika perkara ini sama sekali tidak merugikan keuangan negara.

 

"Menurut hiting-hitungan kami karena ada selisih 10 persen, kami menyimpulkan 10 persen kerugian negara. Tapi yang mulia mengatakan konsorsium harusnya tidak boleh mendapatkan fee lain dari yang seharusnya. Kami mendapat lagi 10 persen, jadi kalau konsorsium tidak boleh ambil ya 20 persen itu kerugiannya," imbuh Andi.

Tags:

Berita Terkait