Pengaktifan Koopsussgab Butuh Payung Hukum dan Keputusan Politik Negara
Berita

Pengaktifan Koopsussgab Butuh Payung Hukum dan Keputusan Politik Negara

Sebab dikhawatirkan dapat terjadi penyalahgunaan kewenangan yang ujungnya pada pelanggaran hak asasi manusia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES

Rencana pemerintah bakal mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsussgab) dalam rangka pemberantasan terorisme mendapat respon beragam dari kalangan parlemen. Selain belum memiliki payung hukum, operasi gabungan yang dilakukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara (Denjaka) dari Angkatan Laut, dan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Korpaskhasau) ini perlu menyesuaikan dengan revisi UU (RUU) Terorisme yang sudah masuk tahap finalisasi.     

 

Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid berpendapat pengaktifan kembali Koopsussgab mesti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti, revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme bakal disahkan dalam waktu dekat. Sebab, pembahasannya menyisakan 1 pasal yang bakal dirampungkan oleh DPR dan pemerintah. Terkait perbantuan TNI dalam pemberantasan terorisme yang selama ini dilakukan Densus 88 Anti Teror amatlah dimungkinkan.

 

“TNI dibandingkan dengan kepolisian jauh lebih ahli dalam menangani persoalan terorisme dan intelijen,” kata Hidayat Nurwahid. Baca Juga: Perluasan Pidana Teroris Mesti Diterapkan Secara Hati-Hati

 

Hidayat berpendapat perbantuan yang dilakukan TNI terhadap Polri dalam kerja-kerja pemberantasan terorisme memang tidak perlu menunggu penyelesaian RUU Terorisme. Sebab, dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI sudah mengatur perbantuan TNI terhadap Polri. Khususnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b.3 yang menyebutkan, “Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk:…. Mengatasi aksi terorisme”.

 

“Sebenarnya bantuan TNI kepada Polri sudah diatur UU TNI. Itu dimungkinkan untuk melaksanakan perbantuan dengan sifat kedinasan,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen.

 

Meski demikian, pemerintah yang berencana mengaktifkan kembali Koopsussgab tetap perlu payung hukum. Sebab, adanya payung hukum bakal dapat diketahui peran masing-masing dalam rangka melaksanakan operasi gabungan. Setidaknya, dapat meminimalisir penggunaan kewenangan yang berlebihan agar tidak melanggar HAM dalam pemberantasan terorisme. “Jadi, tentu tetap harus mempergunakan payung hukum yang cukup,” tegasnya.

 

Menurutnya, tanpa payung hukum, Kopsussgab bakal menjadi persoalan yang dapat mendiskreditkan negara pada kondisi tertentu. Misalnya pelanggaran hak asasi manusia.

 

Sementara Ketua DPR Bambang Soesatyo mendukung penuh rencana Presiden Jokowi mengaktifkan Koopsussgab dalam memberantas terorisme dan radikalisme. Bambang berharap pelibatan pasukan elit TNI dari darat, laut dan udara bakal mempercepat pemberantasan terorisme di Indonesia.

 

“Saya mendukung penuh upaya pemberantasan terorisme dengan melibatkan pasukan elite di satuan TNI,” ujarnya.

 

Mantan Ketua Komisi III DPR itu berpendapat payung hukum dalam melibatkan pasukan satuan 81 Gultor Kopassus, Denjaka, dan Korpaskhasau guna membantu Densus 88 Anti Teror Polri bisa merujuk ketentuan UU TNI. Yakni tugas pokok TNI menjaga dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dari ancaman dan gangguan terhadap negara kesatuan.

 

Dalam rangka menjalankan tugas pokok itu, TNI bisa menggelar operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Pria biasa disapa Bamsoet itu menambahkan, pelibatan TNI harus berdasar kebijakan (aturan) dan keputusan politik negara. Atas dasar itu, Bamsoet meminta Komisi I DPR menggelar rapat kerja dengan Panglima TNI.

 

“Agendanya membahas penggunaan pasukan elite di satuan TNI dalam membantu Polri menumpas gerakan terorisme,” tegas politisi Partai Golkar itu.

 

Belum perlu

Anggota Panja RUU Terorisme Arsul Sani berpandangan pembentukan Koopsussgab dinilai belum perlu pengaktifan. Seharusnya, kata Asrul, pemerintah mesti konsentrasi terhadap penyelesaian pembahasan RUU Terorisme yang masih menggantung akibat pasal terkait definisi yang belum rampung. Sekalipun pemerintah keukeuh bakal mengaktifkan kembali Koopsussgab, hal tersebut dapat dibahas setelah merampungkan RUU Terorisme.

 

Menurutnya, seharusnya pelibatan TNI sudah dapat dlakukan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Apalagi pelibatan TNI pun sudah disepakati dalam pembahasan RUU Terorisme. Hanya saja, bentuk perannya perlu diatur dalam aturan turunan. Misalnya dalam bentuk Peraturan Presiden yang isinya dapat membentuk dan mengatur pengaktifan Koopsussgab.

 

Yang pasti, kata Arsul, bergantung Presiden dalam menerjemahkan pelibatan peran TNI secara detil dalam Peraturan Presiden. Menurutnya terdapat dua pilihan. Pertama, mengacu model peristiwa tertentu. Misalnya ketika terdapat persitiwa aksi terorisme tertentu yang mengancam terhadap keamanan presiden, wakil presiden dan istana negara,  maka TNI dapat dilibatkan. Begitu pula dengan aksi terorisme di dalam pesawat dan kapal laut.

 

Kedua, pelibatan TNI mengukur dengan skala ancaman, sebagaimana diterapkan oleh kebanyakan negara Eropa Barat, Inggris dan Prancis.

 

“Nah, kalau basisnya adalah skala ancaman atau threat level, maka tentara atau militer dilibatkan ketika skala ancamannya itu sudah pada tahap yang tinggi (atau meluas). Tapi kalau masih low atau moderate, maka itu sepenuhnya menjadi kewenangan aparatur penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Jadi ini semua tergantung Perpresnya,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan itu.

 

Anggota Komisi I DPR, Syarif Hasan menilai pembentukan sebuah lembaga atau instansi tidak diperlukan dalam rangka penanganan terorisme. Namun pelibatan TNI dalam penanganan terorisme dapat dilakukan lantaran sudah diatur dalam UU TNI. Menurutnya, yang terpenting, DPR dan pemerintah mesti menguatkan peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

 

“Karena menurut Panja, BNPT adalah lembaga yang paling bisa diandalkan untuk itu. Dan itu akan mewadahi TNI akan ada di situ,” harapnya.

 

Namun demikian, Koopsussgab dapat digunakan dalam keadaan darurat sepanjang RUU Terorisme belum disahkan menjadi UU. Pemerintah memang mesti tanggap dalam penanganan kasus terorisme. Sebab, prioritas pemerintah memang pemberantasan aksi terorisme.

 

“Jadi kalau ada langkah-langkah presiden seperti itu, saya pikir boleh-boleh saja dan memang harus demikian. Akan tetapi, begitu RUU Terorisme diketok palu, berarti badan (Koopsussgab,red) itu sudah tidak perlu lagi,” imbuhnya.

 

Tags:

Berita Terkait