Su’ud sudah menjalani hukuman selama kurang lebih 12 tahun. Kini ia masih mendekam di Lapas Porong Sidoarjo sejak 2008. Sebelumnya, eks Marinir berpangkat Kopral Dua ini dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Februari 2005 lantaran dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Asaba Budyharto Angsono pada 2003. Putusan itu dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Agustus 2005 dan putusan Mahkamah Agung No. PUT/34-K/MIL/2006 Pid/2010 tanggal 07 Juli 2006.
UU No. 5 Tahun 2010tentang Grasi di ruang sidang MK, Senin (02/11).
Asrun berpendapat salah satu unsur negara hukum adalah perlindungan (HAM) yang wujudnya berupa keadilan. Pemberian grasi ini juga wujud perlindungan HAM dari perlakuan semena-mena aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Misalnya, hakim bisa saja memutuskan perkara akibat adanya tekanan di luar kekuasaan kehakiman, seperti tekanan politik pemerintah atau tekanan sebagian masyarakat.
UU No. 22 Tahun 2002
Ahli pemohon lainnya, Firman Wijaya sepakat bahwa permohonan grasi tidak perlu dibatasi ruang dan waktunya. Sebab, pengajuan grasi sarana keadilan substantif yang merupakan hak mutlak presiden dalam rangka menuju kesejahteraan negara dan masyarakatnya. “Bagaimana presiden bisa menegakan keadilan jika pengajuan grasi dibatasi ruang dan waktunya? Terbukti, grasi tidak dapat digugat ke PTUN,” kata Firman dalam persidangan.
“Grasi tidak lagi terkait dengan penilaian putusan hakim sebagai terpidana, tetapi sebagai warga negara yang berhak meminta ampun kepada presiden sebagai kepala negara,” jelasnya.
Suud Rusli, terpidanamati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono, dan mahasiswa FH Universitas At-Thahiriyah Marselinus Edwin Hardian mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi yang membatasi pengajuan grasi maksimal setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Aturan itu dinilai menciderai rasa keadilan karena pengajuan grasi lebih dari setahun sejak putusan inkracht telah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015 yang baru diterima pada 8 Oktober 2015.
Pemohon menilai hak pengajuan grasi merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Karena itu, hak pengajuan grasi yang ditujukan kepada presiden sebagai kepala negara seharusnya tidak boleh dibatasi waktunya karena bertentangan dengan prinsip keadilan (sense of justice) yang dijamin UUD 1945.
Menurutnya, grasi tidak termasuk kebijakan terbuka pembentuk Undang-Undang (open legal policy) yang diserahkan kepada pembuat Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut dengan cara membatasi. Karena itu, pemohon minta Pasal 7 ayat (2) UU Grasi dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.