Pengadilan Lanjutkan CLS Advokat
Berita

Pengadilan Lanjutkan CLS Advokat

Kemacetan di Jakarta dinilai majelis hakim hambat mobilitas advokat.

hrs
Bacaan 2 Menit
Suasana kemacetan di Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Suasana kemacetan di Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)

Kemacetan di DKI Jakarta memang terbilang cukup parah. Hampir tiap jam dan tiap hari warga kota Jakarta harus dipusingkan dengan lambannya mobilisasi di jalanan.


Tak heran jika dua warga DKI Jakarta yang berprofesi sebagai advokat merasa tak nyaman atas kemacetan ini. Keduanya adalah Agustinus Dawarja dan Ngurah Anditya Ari Firnanda yang menggugat Pemprov DKI Jakarta dan Presiden RI atas ketidakbecusan kinerja mereka.


Terkait gugatan ini, Pemprov DKI Jakarta dan Presiden RI menyampaikan nota keberatan atas gugatan kedua advokat tersebut.


Dalam nota keberatan tersebut, Presiden dan Pemprov DKI  menyatakan bentuk gugatan yang diajukan dua advokat ini tidak diatur dalam sistem hukum yang dianut Indonesia. Untuk diketahui, Ngurah dan Agustinus mengajukan gugatan dengan bentukcitizen lawsuit atau gugatan warga negara.


Selain mempermasalahkan bentuk gugatan yang tidak tepat, kedua tergugat juga mempermasalahkan notifikasi. Menurut para tergugat, Ngurah dan Agustinus tidak memberikan notifikasi terkait ketidakpuasan mereka atas kinerja Presiden RI dan Pemprov DKI Jakarta. Untuk itu, para tergugat meminta majelis menolak gugatan dua advokat ini.


Ditolak Majelis

Sayangnya, kehendak Presiden RI dan Pemprov DKI Jakarta tidak dikabulkan majelis hakim dalam putusan sela, Selasa (31/7). Majelis justru sependapat dengan Agustinus dan Ngurah.


Dalam putusannya, majelis mengakui bahwa sistem hukum Indonesia memang tidak mengenal citizen lawsuit. Namun, pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Untuk itu, terhadap gugatan citizen lawsuitini, majelis melakukan pendekatan hukum dengan membandingkan pada negara yang memakai bentuk gugatan warga negara semacam ini. Negara yang dipilih, yaitu Amerika Serikat, India, dan Australia.


Praktik pada negara tersebut, majelis menyatakan penggugat haruslah seorang warga negara yang mempunyai masalah dengan suatu penyelenggara negara. Tanpaperlu membuktikan kerugian secara langsung. Demikian pula halnya dengan AS.


Merujuk pada kasus ini, majelis menilai bahwa penggugat mempunyai hubungan hukum langsung dengan kasus ini. Hal ini terlihat dari kartu tanda penduduk penggugat yang menunjukkan sebagai warga DKI Jakarta.


Selanjutnya, dengan kemacetan ini, kedua penggugat merasa dirugikan karena menggangu kesehatan secara psikis dan fisik. Tidak hanya itu, kemacetan ini pun juga telah menyebabkan pemborosan waktu kerja efektif. Apalagi, profesi kedua penggugat mengharuskan penggugat hadir tepat waktu pada acara-acara yang telah diagendakan.


Majelis pun menambahkan urusan penyelesaian kemacetan adalah tanggung jawab penyelenggara negara. Menurut majelis, sebagai penyelenggara negara sudah menjadi tugas dan kewajiban untuk menciptakan kehidupan yang baik. Amanat ini tidak hanya ditujukan kepada Presiden RI dan Pemprov DKI Jakarta. Majelis juga menyebutDPRD dan sejumlah partai politik sebagai turut tergugat tidak amanah.


“Untuk itu, kedua penggugat telah dapat membuktikan asas point d’interent point d’action, siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan,” ucap Hakim Ketua Kasianus Telaumbanua, Selasa (31/07).


Lebih lanjut, majelis pun menilai apakah penggugat telah memenuhi notifikasi atau tidak. Karena, dalam gugatan warga negara,notifikasi adalah hal wajib yang harus dipenuhi dan dibuat dalam bentuk tertulis.


Jika merujuk kepada praktik yang terjadi di AS, Australia, dan India, notifikasi adalah sebuah notice atau ministatement yang harus berisikan tentang niat penggugat, apa yang hendak digugat, jenis pelanggaran yang dilakukan, beserta dasar hukumnya.


Adapun tujuan notifikasi ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada pelanggar melakukan pematuhan. Serta memberikan kesempatan kepada tergugat secara adil untuk mempersiapkan jawaban dalam waktu yang cepat. Notifikasi pun harus dilakukan selambat-lambatnya enam puluh hari.


Terkait hal ini, majelis menilai Ngurah dan Agustinus tidak memenuhi syarat notifikasi ini. Ngurah dan Agustinus hanya memberitahukan perihal gugatan ini melalui laman resmi kantor hukum mereka dan media massa. Tetapi tidak dilakukan dalam bentuk tertulis dan ditujukan secara konkret kepada para tergugat dan turut tergugat.


Ditambah lagi, pemberitahuan melalui laman resmi kantor hukum pun baru dilakukan sejak 5 Maret 2012 sehingga tidak memenuhi jangka waktu yang diharuskan sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, India, dan Australia. Oleh karena itu, majelis menilai upaya yang dilakukan penggugat tidak memenuhi syarat mengenai notifikasi.


Namun, majelis tetap menerima gugatan Ngurah dan Agustinus meskipun mereka tidak memenuhi syarat notifikasi. Majelis berdalih bahwa Indonesia tidak mengatur bentuk gugatan warga negara.


Untuk itu, majelis berpendapat ada kekosongan hukum dalam notifikasi ini sehingga notifikasi ini dapat dikesampingkan karena belum ada pengaturan yang jelas dalam sistem hukum.


CLS, menurut majelis adalah sebuah fenomena atau gejala dimana masyarakat yang tidak puas kepada pejabat. “Sehingga menginginkan terobosan hukum yang berlaku. Rasa keadilan yang hidup di masyarakat harus ditampung dan diberi tempat,” ucap ketua majelis hakim.


Akibatnya, gugatan warga negara mengenai kemacetan berlanjut ke pokok perkara. “Mengadili, prosedur CLS adalah sah dan memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan persidangan. Ini bukan ending, tapi awal masuk ke pokok perkara,” pungkasnya.


Upaya Hukum

Menanggapi sikap majelis hakim, Kuasa Hukum Presiden RI yang diwakili jaksa negara pada Kejaksaan Agung, Taufik Effendi akan melakukan upaya hukum atas putusan ini. Meskipun begitu, timnya akan mempersiapkan saksi lebih berkualitas untuk mematahkan gugatan para penggugat.


Terkait putusan sela tentang legal standing CLS tersebut, Taufik menyatakan akan mempelajari secara lengkap pertimbangan putusan. Kemudian dimusyawarahkan dengan anggota jaksa pengacara negara lain. “Sekaligusmenunggu petunjuk pimpinan tentang langkah hukum apa yang akan dilakukan,” jawab Taufik usai persidangan.


Taufik pun menambahkan ada fakta yang menarik yang perlu dicermati dari putusan tersebut, khususnya mengenai notifikasi. Menurutnya, notifikasi adalah sebuah syarat mutlak yang tak bisa dikesampingkan dalam gugatan warga negara. Notifikasi adalah penentu untuk menolak atau diterimanya sebuah gugatan.


“Jika mau pakai bentuk gugatan warga negara, harus dipakai sistemnya secara keseluruhan, jangan setengah-setengah,” lanjutnya.


Sementara itu, alasan Ngurah tidak memakai notifikasi sebagaimana yang diatur di negara common law adalah Indonesia tidak mengatur mengenai hal ini. Jadi, Ngurah pun melakukan pendekatan hukum dengan menggunakan metode notifikasi class action  yang telah diakui Indonesia.


Lebih lanjut, Ngurah pun juga mengatakan bahwa notifikasi tentang gugatan ini seharusnya tidak diperlukan lagi. Karena, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatasi kemacetan ini. Bahkan, gugatan ini adalah seperti bom waktu yang bisa dilakukan kapanpun oleh warga negara karena ketidakpuasan atas kinerja pemerintah.


“Notifikasi seharusnya tidak diperlukan dalam kasus ini karena jauh sebelum saya lahir, kemacetan ini sudah ada. Jadi, pemerintah harus sadar dan melakukan kewajibannya,” tukas Ngurah.

Tags: