Pengadilan Agama: Nikah Beda Agama Tanggung Jawab Pribadi
Utama

Pengadilan Agama: Nikah Beda Agama Tanggung Jawab Pribadi

Nikah beda agama menjadi tanggung jawab masing-masing mempelai kepada Tuhannya tanpa sangkut paut dengan pihak lain. Ada perbedaan norma dalam perundang-undangan.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Berdasarkan salinan putusan yang diterima hukumonline, Termohon 1 menundukkan diri pada hukum kanonik Katolik. Perkawinan dilakukan dengan cara Katolik di Gereja Katolik Santo Stefanus, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Masih dalam putusan yang sama, ada penjelasan soal dispensasi dari keuskupan Katolik untuk merestui pernikahan beda agama. Pernikahan seorang Katolik dengan non Katolik bisa dinyatakan sah secara Katolik.

Pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara ini adalah menghormati pilihan mengabaikan aturan agama yang dianut sebagai tanggung jawab pribadi. Intinya, nikah beda agama bisa diterima karena menjadi urusan pribadi pelakunya. “Menimbang, bahwa dengan adanya tekad yang kuat dari Termohon 1 untuk dapat menikah dengan Termohon 2 dengan mengabaikan aturan yang terdapat di dalam agama yang ia anut menjadi tanggung jawab Termohon 1 kepada Tuhannya tanpa sangkut paut dengan pihak lain, termasuk ayah kandungnya sendiri, karena setiap manusia mukallaf bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan sebagai konsekuensi logis atas apa yang ia pilih dan ia putuskan,” urai majelis hakim dalam salinan putusan.

Kekosongan Hukum atau Kebolehan Hukum?

Persoalan nikah beda agama berdasarkan UU Perkawinan bersumber dari bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sebuah pendapat lama di tahun 2006 oleh Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof. Wahyono Darmabrata, menyebut ada empat cara populer agar nikah beda agama diakui negara.

(Baca juga: Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama).

Caranya adalah meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukkan sementara pada salah satu hukum agama, dan menikah di luar negeri. Perlu diingat bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung tahun 1986 pernah berpendapat UU Perkawinan tidak pernah melarang nikah beda agama. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/PDT/1986 tersebut memerintahkan Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta mencatat perkawinan antara AVGP (perempuan/Islam) dengan APHN (laki-laki/Protestan). Yurisprudensi Mahkamah Agung ini membenarkan permintaan penetapan pengadilan untuk pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil.

Substansi yurisprudensi tersebuttelah dimuat dalam UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan). Pasal 34 dan Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan mengakui pengesahan nikah beda agama. Pasal 35 merumuskan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan. Penjelasan pasal ini menyebutkan yang dimaksud dengan ‘perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan’ adalah yang dilakukan antar-yummat yang berbeda agama.

Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama artinya kedua mempelai melakukan ritual perkawinan dua kali. Ritual dilakukan bergantian sesuai agama masing-masing. Cara ini tidak jauh berbeda dengan penundukkan sementara pada salah satu hukum agama. Bedanya, cara ketiga itu hanya satu pihak yang ikut dalam ritual perkawinan sesuai agama pasangannya. Cara ketiga inilah yang dilakukan Termohon 1 saat menikah dengan Termohon 2 melalui upacara perkawinan Katholik.

Cara keempat dengan menikah di luar negeri juga memanfaatkan ketentuan pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia. Ketentuannya saat ini diatur pasal 37 UU Administrasi Kependudukan. Kondisi tersebut tampak membuat larangan nikah beda agama tidak mutlak. Tidak ada norma eksplisit dibolehkan atau dilarang dalam rumusan pasal UU Perkawinan. Pada saat yang sama, berbagai regulasi lainnya memberikan cara untuk diakui oleh negara.

Wirdyaningsih, dosen hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI)  menjelaskan saat dihubungi hukumonline, Kamis (2/1). “Mengenai sah menurut hukum masing-masing agamanya itu harus dari agama kedua mempelai. Jadi sudah jelas, tidak bisa sah salah satunya,” kata perempuan yang biasa disapa Nunung ini.

Upaya pencegahan dari Pemohon selaku ayah kandung Termohon 1 pun dinilai Nunung sudah tepat. Pemohon memiliki legal standing dan telah melakukannya sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengajuan permohonan sudah tepat ke Pengadilan Agama. “Dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi acuan Pengadilan Agama juga sudah jelas larangannya untuk perempuan Islam,” katanya yang juga peneliti senior di Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI.

Sejauh penelusuran hukumonline pada salinan putusan PA Jakarta Selatan, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan larangan dalam Kompilasi Hukum Islam. Begitu pula fatwa-fatwa yang didalilkan pemohon dalam permohonannya. Sebaliknya, Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini merujuk Pasal 10 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengenai kehendak bebas membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.

Tags:

Berita Terkait