“Pengadilan Adalah Rumah Aman Bagi Penjahat Lingkungan”
Berita

“Pengadilan Adalah Rumah Aman Bagi Penjahat Lingkungan”

Peran rakyat harus dibuka selebarnya dalam pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam.

CR-17
Bacaan 2 Menit
WALHI. Foto: Sgp
WALHI. Foto: Sgp

Aktivis Lingkungan Chalid Muhammad menilai pengadilan masih menjadi rumah yang aman bagi para penjahat lingkungan di Indonesia, dimana pengadilan belum bisa membuat efek jera kepada mereka.

“Pengadilan adalah rumah aman bagi penjahat lingkungan hidup. Perusahaan lebih senang digugat oleh WALHI daripada dikampanyekan oleh WALHI,” ujarnya dalam Konferensi Nasional Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Jakarta, Selasa (14/10).

Padahal, lanjut mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ini, ketimpangan pemilikan sumber daya alam di Indonesia masih sangat tinggi. Ia menjelaskan bahwa 56% sumber daya alam Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk Indonesia. Ini menimbulkan orientasi ekonomi yang mengabaikan persoalan lingkungan.

Tidak hanya kesenjangan penguasaan SDA, kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang belum teratur juga masih menjadi masalah besar.  “Saat ini terjadi tumpang tindih kebijakan dalam kewenangan pengelolaan lingkungan hidup,” ujarnya.

Chalid mencontohkan untuk membuat izin Daerah Aliran Sungai saja harus melalui tiga lembaga negara. Akibatnya, tumpang tindih kebijakan pun masih sering terjadi. “Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam belum terintegrasi,” tegasnya.

Kondisi ini pun berlanjut hingga belum adanya agenda yang terintegrasi di setiap kementerian. “Sampai sekarang ini tidak ada planning untuk pemulihan lingkungan hidup, misalnya Peraturan Pemerintah dalam pemulihan lingkungan hidup,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Chalid, para pelaku usaha yang memanfaatkan SDA juga tidak taat hukum. “Sekitar 4552 izin usaha pertambangan yang beroperasi tidak memiliki NPWP, artinya praktik penggelapan pajak terjadi, padahal mereka mengekploitasi Sumber Daya kita,” ujarnya.

Jalan Baru

Chalid mengatakan untuk mengatasi masalah itu semua maka dibutuhkan “jalan baru” sebagai solusi. Jalan baru itu, di antaranya adalah rakyat harus menjadi aktor utama dalam pengelolaan lingkungan hidup.

“Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, hutan adat bukan hutan negara. Pemerintah harus melakukan percepatan teknologi, modal, dan lainnya untuk mendukung adat kepada pasar. Dengan demikian, bisa dicapai 3300 desa yang hebat sejahtera dan tangguh dan berkontribusi pada 7% kenaikan ekonomi,” tuturnya.

Ia juga menegaskan mandat TAP MPR Nomor TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam harus segera dilaksanakan.  Juga pemulihan lingkungan hidup harus dilaksanakan secara teritegrasi oleh semua pihak yang terlibat.

“Penegakan hukum dengan multi-door approach, satgas anti mafia sumber daya alam yang bekerja efektif, sehingga para pelaku akan dijera dengan hukum yang seberat- beratnya,” tambahnya.

‘Jalan Baru’ terakhir ialah menyiapkan kesiagaan menghadapi bencana ekologis dan perubahan iklim. Ia menuturkan kencenderungan kenaikan suhu bumi dari waktu ke waktu, bila tidak diadaptasi akan menghasilkan kemiskinan. Ia menilai perlunya adaptasi perubahan iklim dan mengintegrasikan bencana ekomlogis dengan badan penanggulangan bencana. “Kita belum begitu maksimal dalam menyiapkan perubahan iklim,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait