Pengacara Muchdi Pertanyakan Kesaksian Suciwati
Utama

Pengacara Muchdi Pertanyakan Kesaksian Suciwati

Dalam kesaksiannya Suciwati banyak mengutip dari perkataan Munir. Pengacara Muchdi menganggap Suciwati sebagai saksi katanya. Perdebatan tentang saksi testimonium de auditu.

Nov
Bacaan 2 Menit
Pengacara Muchdi Pertanyakan Kesaksian Suciwati
Hukumonline

Saksi fakta adalah orang yang melihat dan mendengar kejadian. Begitulah konsep dasar hukum acara pidana. Konsep ini seolah mencuat kembali dalam persidangan lanjutan pembunuhan Munir di PN Jakarta Selatan, Selasa (16/9). Duduk di kursi pesakitan, Muchdi Purwopranjono. Sementara di kursi saksi tampil Suciwati, isteri almarhum Munir.

 

Selain Suciwati, majelis hakim seyogianya mendengar kesaksian Budi Santoso, agen BIN yang kini bertugas di Pakistan.; dan M. As'ad, Wakil Ketua BIN. Namun keduanya berhalangan hadir. Jadi, yang tampil sebagai saksi pada sidang kali ini hanya Suciwati dan mantan Dirut Garuda Indonesia Indra Setiawan. Jaksa Cirus Sinaga menyerahkan surat jawaban dari BIN. Pengacara Muchdi sempat protes atas ketidakhadiran Budi Santoso, agen BIN yang diyakini sebagai saksi kunci yang menyeret nama Muchdi. Majelis hakim meminta Cirus Sinaga terus berusaha menghadirkan Budi Santoso ke persidangan.

 

Dalam kesaksiannya, Suciwati banyak menjelaskan curhat Munir semasa hidup, terutama ketika mengarah pada pengungkapan motivasi Muchdi. Beberapa kali pengacara Muchdi melakukan interupsi atas keterangan Suciwati. Tim pengacara menganggap Suciwati bukanlah saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri; melainkan saksi yang banyak berbicara katanya Munir.

 

Suciwati memulai keterangannya dari rencana keberangkatan Munir melanjutkan studi ke Belanda pada 6 September 2004. Dijelaskan Suciwati, Munir pernah bercerita kepada dirinya tentang pencekalan yang ia alami ketika ingin berangkat ke Swiss pada awal 2004. Saat petugas imigrasi mencegah keberangkatannya, Munir mempertanyakan. Apakah saya dicekal? Siapa yang memerintahkan pencekalan? Apakah itu Hendropriyono?. Kemudian, pihak imigrasi menjawab, Oh tunggu Pak, saya harus konfirmasi. Munir akhirnya mengontak langsung AM Hendropriyono, Kepala BIN saat itu. Dan tidak lama pihak imigrasi memperbolehkan almarhum (Munir) untuk berangkat ke Swiss.

 

Dengan pengalaman cekal ini, jelas Suciwati, Munir merasa trauma, sehingga saat boarding pass menuju Belanda, Suciwati mengirimkan pesan singkat agar Munir mengecek ulang apakah ia berstatus cekal. Ternyata, kali ini tidak. Munir lolos dari pemeriksaan dan terbang bersama Garuda Indonesia. Tetapi, nahas, di dalam pesawat itulah Munir menghembuskan nafas terakhir. Kabar kematian Munir diterima Suciwati dari Usman Hamid, Koordinator Kontras. Sontak, Suciwati menghubungi beberapa pihak yang berkepentingan, seperti kantor Munir dan Garuda untuk mendapatkan informasi.

 

Ketika bertemu Dirut Garuda, Indra Setiawan, ibu dua anak ini sempat mencoba menanyakan perihal kematian Munir yang dirasa aneh.  Pada 2 September 2004, orang yang mengaku bernama Polly menelepon nomor seluler Munir. Kebetulan Suciwati yang mengangkat. Orang yang di seberang telepon memberi alasan akan berangkat bersam-sama Munir, sehingga Suciwati tak sungkan memberitahu kapan Munir akan berangkat melanjutkan studi ke ke Negeri Kincir Angin.

 

Ketika Suciwati menyampaikan pada suaminya mengenai telepon dari orang yang mengaku Polly, Munir hanya mengatakan orang aneh, sok kenal, sok akrab. Dengan demikian, Munir pernah memiliki pengalaman bersama Pollycarpus -pilot senior Garuda. Almarhum pernah dititipkan surat ketika di Swiss oleh Polly. Padahal, ia tidak kenal.

 

Kejanggalan ini bukan hanya sekali dua kali. Sepengetahuan Suciwati, sebelum terbunuh, Munir dan Suciwati sempat mendapat ancaman untuk diculik. Ancaman itu terjadi pada awal Mei 1998, ketika Munir getol-getolnya melakukan advokasi untuk kasus penculikan (mahasiswa) aktivis. Jaksa Cirus  meminta Suciwati memperjelas kasus penculikan aktivis mana yang dimaksud?

 

Perempuan kelahiran Malang ini menegaskan advokasi yang dilakukan Munir tak lain adalah kasus penculikan 13 aktivis. Saksi berusaha menjelaskan, mulai dari keluh-kesah keluarga korban yang datang ke Kontras, sampai advokasi yang dilakukan almarhum suaminya. Saat itu, Munir menjabat sebagai Koordinator Kontras, lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi kasus-kasus orang hilang dan tindak kekerasan.

 

Suciwati mengaku mengikuti advokasi yang dilakukan Munir terhadap kasus penculikan 13 aktivis ini. Ia (Munir) banyak bercerita kepada saya. Apapun yang dia alami, dia bercerita kepada saya. Jadi, pada waktu advokasi kasus penculikan aktivis Suciwati yang sedang hamil lima bulan dan Munir diancam akan diculik. Saya mengalami sendiri bagaimana diancam mau diculik. Kemudian, Suciwati juga pernah ikut bersama keluarga korban penculikan yang diadvokasi Munir menemui Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) untuk meminta anak-anak mereka dikembalikan. Ketika itu, Andi Arif -salah satu korban penculikan- diculik tanggal 28 Maret 1998. Sekitar bulan Juni, ia ditempatkan ke Polda Metro Jaya.

 

Memang, Suciwati tidak mengikuti secara detail. Ia mendengar cerita dari Munir dan pemberitaan media. Saya mendengar bagaimana perasaan Munir ketika Dewan Kehormatan Perwira (DKP) memutuskan adanya tiga orang --Prabowo Subianto, Muchdi Pr, dan Chairiawan -- dibebastugaskan karena berkaitan dengan kasus penculikan itu.

 

Kepada Suciwati, dengan menggunakan bahasa Jawa Munir mengatakan yang paling sakit perut di situ adalah Muchdi karena ia masih menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, jabatan prestisius bagi seorang tentara. Tiba-tiba dibebastugaskan begitu saja, diberikan sanksi adminitratif. Secara pencopotan jabatan Danjen Kopassus bisa dianggap menghinakan. Itu mungkin yang ia (Munir) ceritakan, tukasnya.     

 

Di tengah perjalanan, pengacara Muchdi memotong dan mengatakan kalau dari awal Suciwati memberikan keterangan berdasarkan katanya -mendengar dari Munir. Padahal, yang dimaksud saksi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah yang melihat, mendengar, dan merasakan sendiri. Ini namanya saksi dengar-dengaran, kata salah seorang pengacara Muchdi. Kami mohon saksi menceritakan apa yang ia lihat, dengar, dan rasa sendiri.

 

Interupsi pengacara ini ditanggapi Suharto. Ia menyuruh pengacara jangan terlalu terburu-buru. Pengacara, penuntut umum, dan majelis memiliki hak untuk melakukan penilaian sendiri terhadap keterangan saksi. Kebenaran keterangan saksi itu, persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain dan juga alat bukti lain, tandas Suharto.

 

Rudi Satryo Mukantardjo, Pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia mengatakan seorang saksi tidak harus melihat, mendengar, atau merasak sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Ada yang namanya saksi berantai, ujarnya.

 

Pasal 185 KUHAP

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.                       

 

Bisa saja, A melihat pelaku membeli pisau, lalu B melihat pelaku masuk dalam rumah, C mendengar suara orang kesakitan, dan D melihat pelaku keluar dari rumah. Keempat orang ini dapat dikategorikan sebagai saksi juga. Tapi, kalau kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya, maka akan menjadi satu kesatuan. Memang tidak ada yang melihat langsung tindak pidana yang dilakukan pelaku. Namun, apabila dari keterangan-keterangan mereka bersesuaian dan membentuk satu kesatuan, maka akan nyambung, pungkas Rudi.

 

Tags: