Pengacara Margriet Pertanyakan Latar Belakang Saksi P2TP2A
Utama

Pengacara Margriet Pertanyakan Latar Belakang Saksi P2TP2A

Menurut saksi, Engeline kerap dianiaya, ditelantarkan dan diberi makanan yang tidak layak.

ANT
Bacaan 2 Menit
Hotma Sitompul. Foto: SGP
Hotma Sitompul. Foto: SGP
Pengacara Margriet Christina Megawe, Hotma Sitompoel, mempertanyakan latar belakang dan motivasi tiga saksi baru yang dihadirkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar dalam kasus dugaan penelantaran anak.

"Tanya dulu ini orang (saksi) siapa dulu. Ada rasa sakit hati tidak? Jangan-jangan dulu melakukan kesalahan di rumah itu (rumah Margriet) terus diusir," katanya ditemui di Markas Polda Bali, di Denpasar, Kamis (18/6).

Pihaknya saat ini tengah mengumpulkan data-data terkait pendapat yang dinilai tanpa bukti yang dilontarkan para aktivis di lembaga itu, termasuk Ketua Komisi Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Namun, pihaknya belum bisa memutuskan apakah akan mengadukan hal tersebut kepada pihak kepolisian.

"Kami harus kumpulkan dulu data-data. Kami tidak semudah itu mengadukan orang," ucapnya.

Sebelumnya, P2TP2A Denpasar menghadirkan tiga orang saksi terkait kasus dugaan penelantaran anak dengan tersangka Margriet Christina Megawe. Ketiga saksi itu yakni Yudith, Franky, dan Laura tiba di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali, sekitar pukul 10.15 WITA. Mereka sebelumnya diterbangkan dari Balikpapan, Kalimantan Timur pada Rabu (17/6) untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Margriet.

Ketiganya, kata petugas P2TP2A Denpasar, Siti Sapurah, pernah tinggal di kediaman Margriet di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Denpasar pada periode Desember 2014 hingga Maret 2015. "Mereka tinggal di kamar yang berada di lantai atas," ucap Siti.

Satu dari tiga orang tersebut yakni Laura merupakan kerabat Margriet.

Menurut Siti Sapura, ketiganya memberikan kesaksian terhadap perilaku wanita berusia 60 tahun itu karena kerap melakukan penganiayaan, penelantaran dan pemberian makanan yang tidak layak kepada bocah malang itu. "Engeline (sebelumnya diberitakan dengan nama Angeline- red) kerap dipukul, dibentak," imbuh Siti.

Akibatnya, hampir seluruh tubuh bocah cantik itu menderita luka dan lebam dan tak jarang tiga saksi itu memberikan bantuan untuk mengobati lebam anak tersebut.

Franky, salah satu saksi yang sempat bekerja sebagai pengurus ayam dan rumah di kediaman tersangka menjelaskan bahwa dirinya kerap mengingatkan wanita berusia 60 tahun itu untuk tidak melakukan kekerasan kepada Engeline.

"Saya sudah sering bicara untuk tidak perlu memukul kan anak-anak, sudah ada saya yang kerja," ujarnya.

Ia mengaku bahwa selama tiga bulan bekerja dengan Margriet, memutuskan untuk berhenti karena tidak tahan dan tidak cukup dengam biaya hidupnya. "Saya tidak cukup biaya hidup dan tidak tahan," ucapnya.

Hadirkan Kriminolog
Kepolisian Daerah Bali menghadirkan kriminolog dari Universitas Indonesia, Prof Dr Ronny Rahman Nitibaskara untuk membantu penyidik mengungkap kasus pembunuhan Engeline.

"Penguatan (saksi) ahli untuk memperkuat penyelidikan ini," kata Kepala Polda Bali Inspektur Jenderal Ronny Sompie.

Dia menjelaskan bahwa keterangan bahwa dalam penyelidikan polisi membutuhkan keterangan dari saksi, surat atau dokumen, petunjuk dan saksi ahli. Untuk itu, penyelidikan akan semakin kuat dengan adanya keterangan ahli yang berkompeten di bidangnya mengingat polisi melakukan penyelidikan secara ilmiah.

"Kami lakukan penyelidikan ini secara ilmiah karena tanpa ilmiah maka bisa terbantahkan di pengadilan," ucap mantan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri itu.

Nantinya, kehadiran saksi ahli yang juga merupakan Guru Besar Antropologi itu, kata dia, guna menganalisis keterangan para tersangka.

Sebelumnya, selain melibatkan saksi ahli, Polda Bali juga melibatkan alat pendeteksi kebohongan guna mengecek keterangan tersangka Agus dan Margriet karena keterangannya kerap berubah-ubah.

Dari laman Universitas Indonesia, Prof Dr Ronny Rahman Nitibaskara adalah seorang guru besar yang memiliki keahlian dalam bidang Antropologi.

Ia lahir di Bandung pada 2 Juli 1943 yang telah menamatkan pendidikan sarjana di FISIP UI pada tahun 1970 di jurusan Kriminologi. Gelar Doktor dalam bidang Antropologi telah diraihnya pada tahun 1993 setelah menyelesaikan studinya di FISIP UI jurusan Antropologi dengan Thesis "Reaksi Sosial Terhadap Praktek Ilmu Hitam (Teluh) di Banten (suatu pendekatan Antropologi- Kriminologi).

Telah banyak publikasi-publikasi ilmiah yang dilakukan oleh guru besar itu di antaranya Etnografi Kejahatan di Indonesia, Catatan Kriminalitas, dan "Judicial Crime".
Tags:

Berita Terkait