Pengacara Brigadir J: Kasus Dugaan kekerasan Seksual PC Wajib Dihentikan
Utama

Pengacara Brigadir J: Kasus Dugaan kekerasan Seksual PC Wajib Dihentikan

Karena Pasal 77 KUHP jelas memandatkan “kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.”

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pengacara Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak saat menyampaikan laporan ke Bareskrim Polri beberapa waktu lalu. Foto: RES
Pengacara Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak saat menyampaikan laporan ke Bareskrim Polri beberapa waktu lalu. Foto: RES

Aparat kepolisian masih mengusut peristiwa tewasnya Brigadir “J” alias Yoshua Hutabarat di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022. Istri Irjen Ferdy Sambo, berinisial PC bersama tim penasihat hukumnya telah melaporkan dugaan kasus kekerasan seksual yang dialaminya dan Brigadir J sebagai terlapor. Tim Penasihat Hukum mendesak aparat kepolisian segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual itu.

Menanggapi laporan tersebut Pengacara Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, berpendapat laporan itu tidak bisa berjalan karena terlapor sudah tewas dibunuh. Jika mau membuat laporan polisi atas dugaan tindak kekerasan seksual hal pertama yang harusnya dilakukan yakni membawa pelakunya ke polisi.

“Kalau mau lapor ada dugaan tindak pidana kekerasan seksual itu langkah pertama yang harus dilakukan membawa terduga pelaku ke polisi, jangan dibunuh,” kata Kamaruddin ketika dihubungi, Jum’at (5/8/2022).

Baca Juga:

Kamaruddin menegaskan tuduhan pelecehan seksual itu tidak mungkin karena Brigadir J menghormati PC sebagai ibunya. Begitu pula Ferdy Sambo yang sangat dihormati sebagai bapaknya. Kebanggaan itu yang disampaikan Brigadir J kepada keluarganya.

Sekalipun laporan itu ditindaklanjuti aparat kepolisian, Kamarduddin menilai tidak mungkin untuk menetapkan tersangka. Dia mengingatkan Pasal 77 KUHP mengatur “kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.” Artinya KUHP tegas melarang mengusut perkara yang terlapor atau tersangkanya sudah meninggal.

Ketentuan itu juga berlaku ketika laporan dilakukan pada saat terduga pelaku masih hidup. Tapi pada saat dia meninggal, maka perkara dihentikan, termasuk penuntutannya jika perkaranya sudah sampai pengadilan. Penghentian perkara itu karena terduga pelaku atau tersangka sudah tidak bisa lagi membela diri dan apa yang dituduhkan terhadapnya itu menjadi gugur.

Ia menilai tuduhan yang dilayangkan berubah-ubah dari awalnya percobaan, pelecehan, dan kekerasan seksual. Padahal masing-masing memiliki arti yang berbeda. Jika yang dituduhkan percobaan maka belum terjadi atau baru memulai. Jika pelecehan maka itu sudah melakukan tindakan yang melecehkan seperti memaksa untuk memeluk dan lainnya. Kemudian jika yang dituding kekerasan seksual maka arahnya pada pemerkosaan.

“Masing-masing itu berbeda, dan harus dijelaskan,” ujarnya.

Kamaruddin juga heran kenapa tim penasihat hukum menyebut PC jiwanya terguncang, padahal yang tewas itu Brigadir J. Dia mengusulkan kepada penyidik untuk memeriksa PC karena dia sebagai saksi kunci. Harus ditanya kapan dan dimana dia dilecehkan. Menurutnya perkara dugaan kekerasan seksual ini harus dihentikan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHP. “Bukan layak lagi, tapi wajib dihentikan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHP,” tegasnya.

Sebelumnya, Tim Penasihat Hukum PC menyampaikan 8 catatan terkait laporan dugaan kasus kekerasan seksual dengan terlapor Birgadir J. Salah satu isi catatan itu memaparkan PC telah memberikan keterangan sebanyak 3 kali yakni 9, 11, dan 21 Juli 2022. Mengutip UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tim kuasa hukum menilai keterangan saksi atau korban ditambah satu alat bukti lainnya sudah cukup untuk menetapkan status terlapor menjadi tersangka.

Koordinator Tim Penasihat Hukum PC, Arman Haris, menegaskan kliennya masih dalam keadaan terguncang. Bahkan, pertanyaan yang disampaikan tim penasihat hukum harus melalui perantara psikolog klinis yang ditunjuk Polda Metro Jaya. PC telah menjalani pemeriksaan dan diminta keterangannya baik oleh kepolisian juga lembaga terkait seperti LPSK dan Komnas Perempuan. Terbaru, PC menerima panggilan dari bareskrim, tapi Arman menyebut kliennya butuh waktu dan tetap berkoordinasi dengan psikologi klinis.

Arman juga mengusulkan dalam menjalani pemeriksaan berikutnya diharapkan menggunakan mekanisme rekaman sebagaima yang diatur UU TPKS. “UU TPKS mengatur boleh dilakukan melalui rekaman. Klien kami sudah diperiksa 3 kali dan memang kondisinya saat ini down,” ujarnya.

Anggota Tim Penasihat Hukum lain, A Patra M Zen, menegaskan semua pihak tidak boleh menunjukan sikap yang menyalahkan korban kekerasan seksual. Beban pembuktian dalam perkara kekerasan seksual tidak dibebankan kepada korban. Dalam pemberitaan nama korban tidak boleh disebut dengan nama jelas. “UU TPKS tidak membebankan pembuktian kepada korban. Kalau itu terjadi maka tidak akan ada korban kekerasan seksual yang mau melapor,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait