Penetapan Wilayah Pertambangan Butuh Partisipasi Publik
Berita

Penetapan Wilayah Pertambangan Butuh Partisipasi Publik

Untuk mengurangi konflik di wilayah pertambangan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Penetapan Wilayah Pertambangan Butuh Partisipasi Publik
Hukumonline

Anggota tim peneliti Walhi, Asep Yunan Firdausmenuturkanpartisipasi masyarakat dalam menetapkan wilayah tambang sangat minim. Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang dilakukannya beberapa waktu lalu di tiga daerah yang digarap perusahaan tambang. Yaitu Batu Gosok, Nusa Tenggara Timur, Kolaka, Sulawesi Utara dan Batang Toru, Sumatera Utara.

Sayangnya, pentingnya partisipasi masyarakat di sektor pertambangan tidak disebut secara tegas dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan peraturan turunannya.Untuk itu pada 2010 Walhi melakukan judicial review ke MK terhadap ketentuan dalam UU Minerba yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam menetapkan wilayah pertambangan.

Hasilnya, pada 4 Juni 2012 MK memutus pasal 10 huruf b UU Minerba frasa “memperhatikan pendapat masyarakat” bertentangan secara bersyarat terhadap UUD RI 1945. Sepanjang tidak dimaknai wajib melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayahnya maupun tanah miliknya akan dimasukan ke dalam wilayah pertambangan. Serta masyarakat yang akan terkena dampaknya.

Berdasarkan hal itu, Asep mengatakan Walhi berkepentingan untuk mendorong pemerintah segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur secara khusus partisipasi masyarakat di sektor pertambangan. Selain itu, putusan MK tersebut juga penting untuk menguji apakah peraturan terkait pertambangan yang berlaku saat ini selaras dengan amanat konstitusi atau tidak.

Dari penelitian yang dilakukannya di tiga daerah tambang itu, Asep mengatakan secara umum tingkat pelibatan masyarakat sangat rendah. Alih-alih mengajak warga yang wilayahnya akan digunakan untuk pertambangan berdiskusi soal rencana jangka pendek dan panjang, pemerintah hanya melakukan sebatas sosialisasi. Atau pertemuan tanpa memperhatikan masukan dan saran dari masyarakat yang berkepentingan.

“Rakyat seolah hanya jadi stempel atas kebijakan yang diterbitkan pemerintah,” kata Asep dalam peluncuran hasil penelitian Mekanisme Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di kantor Walhi Jakarta, Kamis (29/8).

Dalam penelitian itu, Asep mengaitkan peraturan di bidang pertambangan yang membutuhkan partisipasi masyarakat dengan implementasinya di lapangan. Seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, penetapan wilayah pertambangan dan perizinan pemanfaatan SDA. Misalnya, pelaksanaan KLHS di daerah Batu Gosok, masyarakat tidak dilibatkan. Untuk perencanaan pembangunan, pemerintah memfokuskan pada sektor pariwisata. Namun dalam proses musyawarah perencanaan di tingkat desa, masyarakat tidak diberi ruang untuk membicarakan sektor pertambangan.

Sedangkan terkait penetapan wilayah pertambangan dan pemberian izin usaha pertambangan di Batu Gosok, Asep mengatakan penelitian yang dilakukannya tidak mendapatkan informasi. Namun, ia menemukan masyarakat yang terkena dampak dari industri tambang yang ada di daerah itu tidak dilibatkan dalam mendiskusikan wilayah tambang. Hal serupa juga terjadi di dua daerah lainnya yang diteliti. “Jadi singkatnya temuan di lapangan mulai dari KLHS sampai penetapan wilayah pertambangan tergolong manipulatif. Sebab, masyarakat tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakannya,” ujarnya.

Padahal, Asep menilai partisipasi masyarakat di sektor pertambangan sangat dibutuhkan. Pasalnya, industri tambang mengancam sumber penghidupan masyarakat yang ada di wilayah itu. Sayangnya, selama ini pemerintah luput memperhatikan hal tersebut. Akibatnya, kerap terjadi konflik di sektor pertambangan, terutama berkaitan dengan penetapan wilayah pertambangan. Sepanjang 2011-2012 Walhi mencatat ada 203 kasus terkait penetapan wilayah pertambangan. Asep berpendapat hal itu salah satunya terjadi karena minmnya partisipasi masyarakat.

Atas dasar itu Walhi mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi yang mengatur partisipasi masyarakat di sektor pertambangan. Namun, posisi masyarakat dan pemerintah harus sejajar dalam merumuskan kebijakan. Sehingga keputusan yang dihasilkan memperhatikan kedua belah pihak. Selain itu, yang terpenting bagi Asep peraturan tentang partisipasi masyarakat harus sesuai dengan putusan MK.

Menurut Asep hal tersebut perlu diperhatikan sebagai komitmen untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Hak milik pribadi tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun,” tukasnya.

Dengan begitu, Asep melanjutkan, masyarakat yang akan masuk area pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah, baik untuk investasi maupun bentuk lainnya, diberikan hak untuk menyatakan mau menerima atau menolak usulan kebijakan dari pemerintah. Sehingga, rencana sebuah pembangunan, khususnya pertambangan, dapat dirumuskan warga.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan, mengatakan penelitian itu dilakukan untuk melanjutkan advokasi Walhi terhadap UU Minerba. Abet melihat selama ini wilayah pertambangan ditetapkan oleh pemerintah lewat Kementerian ESDM. Mengingat pembukaan lahan pertambangan kerap bersinggungan dengan warga yang ada di daerah tersebut, maka Abet menilai partisipasi masyarakat sangat diperlukan.

“Penelitian itu diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah merumuskan PP untuk menetapkan wilayah pertambangan,” ucap Abet.

Sejalan dengan itu Abet menjelaskan tujuan Walhi sampai tahun 2016 menitikberatkan pada isu bagaimana aset produktif rakyat terlindungi. Seperti hutan, kebun dan wilayah pesisir yang terancam oleh kegiatan pertambangan. Tak ketinggalan, lewat publikasi hasil penelitian itu Abet berharap agar masyarakat yang bersinggungan dengan pertambangan mengetahui dan menyadari adanya putusan MK yang baru atas UU Minerba. Khususnya berkaitan dengan penetapan wilayah pertambangan.

Tags: