Penerima Fasilitas Tax Allowance Wajib Beri Laporan Realisasi
Berita

Penerima Fasilitas Tax Allowance Wajib Beri Laporan Realisasi

Laporan disampaikan setiap tahun paling lambat 30 hari sejak berakhirnya tahun pajak.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pemerintah telah menerbitkan aturan baru terkait insentif pajak dalam bentuk tax allowance. Tax Allowance adalah pengurangan pajak yang perhitungannya diperkirakan berdasarkan besar jumlah investasi yang ditanamkan. Dalam PP No. 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu, pemerintah memberikan prioritas kepada pengusaha dalam negeri.

 

PP ini berlaku untuk Wajib Pajak (WP) dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha di bidang-bidang usaha tertentu atau di bidang-bidang usaha tertentu di daerah tertentu serta memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu berhak mendapatkan fasilitas pajak penghasilan.

 

Dalam press rilis yang diterima oleh Hukumonline, Jumat (21/2), fasilitas ini tersedia untuk 166 bidang usaha dalam klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) dan untuk 17 KBLI di berbagai wilayah sesuai sesuai Lampiran I dan Lampiran II dalam PP 78/2019. Adapun hal pokok yang diatur dalam beleid ini adalah fasilitas pajak penghasilan yang dimaksud berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah nilai penanaman modal, dan berupa aktiva tetap termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, melalui pembebanan selama enam tahun masing-masing sebesar lima persen.

 

(Baca: Jokowi Teken PP Pemberian Fasilitas Perpajakan untuk Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu)

 

Selain itu, penyusutan atau amortisasi dipercepat atas aktiva tetap berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh dalam rangka penanaman modal, tarif pajak penghasilan sebesar 10 persen, atau tarif yang lebih rendah sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda, atas dividen yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan adanya ompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

 

Penentuan kesesuaian pemenuhan bidang usaha, daerah tujuan investasi, kriteria dan persyaratan untuk mendapatkan fasilitas di atas dilakukan melalui sistem Online Single Submission (OSS). Sedangkan pengajuan permohonan fasilitas melalui OSS harus dilakukan sebelum saat mulai berproduksi komersial, dengan melampirkan salinan digital surat keterangan fiskal para pemegang saham dan salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal.

 

“Bagi WP yang telah mendapat fasilitas wajib menyampaikan laporan jumlah realisasi penanaman modal dan laporan jumlah realisasi produksi. Laporan disampaikan setiap tahun paling lambat 30 hari sejak berakhirnya tahun pajak. Dan aktiva yang mendapatkan fasilitas dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva yang baru,” kata Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama.

 

Pengaturan selengkapnya termasuk rincian bentuk fasilitas, dan tata cara pemanfaatan fasilitas dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020.

 

Pengamat Pajak Yustinus Prastowo menilai bahwa penerbitan regulasi ini bertujuan untuk mendorong bisnis pada sektor atau bidang-bidang usaha yang selama ini belum tersentuh. Hal itu terlihat dari kebijakan pemerintah yang memperluas bidang usaha untuk tax allowance.

 

“Ini saya kira dalam rangka mendorong sector-sektor yang memang selama ini belum tersentuh atau sektor-sektor itu memang mengharapkan insentif yang lebih besar karena insentif yang diberikan sebelumnya mungkin tidak menarik,” kata Yustinus kepada hukumonline, Jumat (21/2).

 

Menurut Yustinus, untuk menarik investasi masuk ke dalam negeri pemerintah tidak bisa hanya menggunakan satu instrumen saja di sektor pajak. Beberapa faktor lain yang dinilai tak kalah mempengaruhi minat investasi adalah persoalan administrasi, sengketa pajak, pengembalian pajak yang lebih cepat dan lain sebagainya. Sementara terkait insentif ini, pemerintah harus menghitung secara seksama bagaimana dampak atau ekspektasi multiplier dari kebijakan ini.

 

Terkait penggunaan OSS dalam pengajuan insentif ini, Yustinus menyebut tak ada perbedaan mekanisme dari yang terdahulu. Hanya saja dengan menggunaan OSS, KBLI sudah lebih baru dna banyak.

 

“Sekarang sudah melalui OSS. Saya kira mekanisme sama, enggak ada perbedaan yang signifikan. Hanya saja kalau dulu KBLI belum sebesar sekarang, dengan OSS KBLI terbaru dan nanti yang mendistribusikan ini BKPM, masuk domain ke siapa,” jelasnya.

 

Mengingat pemerintah tengah melakukan pembahasan RUU Omnibus Law Perpajakan, Yustinus berharap ada sinkronikasi antara PP dan RUU tersebut. Perbaikan dan revisi terkait regulasi ini perlu dilakukan jika RUU Omnibus Law Perpajakan resmi disahkan.

 

“Akhirnya ini ‘kan sama-sama insentif, di sana ada tarif yg diturunkan disni ada pengurangan juga, jadi komplementer. Di Omnibus ada pasal terakhir itu mengatur tentang insentif, jadi menurut saya harusnya PP ini pun nanti akan menginduk pada UU Omnibus. Sehingga setelah Omnibus diundangkan ada perbaikan atau revisi PP dan PMK. Ini dijadikan satu sehingga arahnya sama,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait