Rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan suatu kasus pidana yang dilaksanakan penyidik dalam proses penyidikan. Dasar hukum rekonstruksi tertuang di dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol:Skep 1205/IX/2000 tentang Revisi Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana.
Rekonstruksi biasanya digunakan untuk kepentingan pemeriksaan kembali, melengkapi berkas perkara serta pengembangan penyidik. Namun, pelaksanaan rekonstruksi bukan suatu hal yang wajib dilakukan bagi polisi, karena rekonstruksi dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran bagaimana peristiwa terjadi sebelum berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan.
Rekonstruksi digunakan untuk mendapat gambaran bagaimana peristiwa itu terjadi, maka menjadi sangat penting dalam pengungkapan sebuah kasus tindak pidana yang merugikan masyarakat.
Baca Juga:
- Keluarga Hasya Lapor ke Ombudsman, Ada Kesalahan Prosedur yang Dilakukan Kepolisian
- Penasihat Hukum Persoalkan Penanganan Kasus Tertabraknya Mahasiswa UI
Dalam perkara tertentu, jika belum ditemukan suatu fakta yang kuat, maka akan dilakukan rekonstruksi. Rekonstruksi dilakukan apabila memang dianggap perlu dan bertujuan untuk memperjelas penyidikan.
Pelaksanaan rekonstruksi dapat dilakukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang bertujuan untuk memperjelas keterangan tersangka. Namun, dapat juga dilakukan di tempat lain yang telah diubah menjadi seperti TKP.
Hasil dari rekonstruksi dimasukkan dalam alat bukti petunjuk karena digunakan sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan alat bukti yang lain dan mempunyai sifat assessor atau tergantung.