Penerapan Asas Dominis Litis dalam UU KPK
Kolom

Penerapan Asas Dominis Litis dalam UU KPK

​​​​​​​Pelaksanaan koordinasi jaksa KPK kepada Jaksa Agung tidak bertentangan dengan fungsi supervisi. Koordinasi meliputi, pembuatan surat dakwaan, pelimpahan perkara ke pengadilan negeri tipikor, rencana tuntutan pidana dan upaya hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Penuntut Umum Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP didefinisikan sebagai Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan yang dimaksud Jaksa, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU 16/2004 menyebutkan, “pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.

 

Kedudukan Jaksa di lembaga antirasuah berdasarkan permintaan KPK kepada Kejaksaan untuk melakukan proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi selama periode waktu yang telah ditentukan. Hal itu merujuk Pasal 51 ayat (1) UU No.30/2002 tentang KPK menyebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.

 

Namun ketika Pasal 21 ayat (5) UU No.30/2002 masih berlaku, secara struktural maupun fungsional kedudukan para Jaksa KPK berada di bawah kendali lima komisioner. Namun begitu, pasca adanya revisi UU 30/2002 menjadi UU 19/2019 khususnya Pasal 21, komisioner tak lagi disebut sebagai penyidik maupun penuntut umum. Dengan begitu, lima komisioner KPK secara fungsional tak lagi memiliki kapasitas menjadi atasan penuntut umum.

 

Lalu, siapa atasan Jaksa di KPK secara fungsional? Menjawab pertanyaan tersebut, maka harus dipahami ketentuan dalam Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) UU 16/2004  menyebutkan, “Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan”.

 

Dengan demikian, pelaksanaan kekuasaan teknis penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum di manapun mereka bertugas, mutantis mutandis dikendalikan dan dipimpin oleh Jaksa Agung. Tentu saja, kapasitasnya sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.

 

Terkait Jaksa Agung sebagai penanggungjawab tertinggi di bidang penuntutan pengaturannya dituangkan dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 31 UU 31/1999 menyebutkan, “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”.

 

Tak hanya itu, penyebutan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi pun ditegaskan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer. Yakni, “…Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima”.

Tags:

Berita Terkait