Penenggelaman Kapal Tak Memberi Efek Jera
Berita

Penenggelaman Kapal Tak Memberi Efek Jera

Lebih menyasar operator kapal daripada korporasi atau pemilik.

ADY
Bacaan 2 Menit
Penenggelaman Kapal Tak Memberi Efek Jera
Hukumonline
Upaya pemerintah memberantas pencurian ikan dengan cara menenggelamkan kapal dinilai belum memberi efek jera, meskipun bisa dianggap sebagai shock therapy.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik, mengatakan penenggelaman kapan pencuri ikan tidak memberi efek jera terhadap pemilik kapal atau korporasi. Tindakan itu hanya menyasar operator kapal seperti nahkoda dan anak buah kapal (ABK). Akibatnya, pencurian ikan terus terjadi selama puluhan tahun.

Untuk memberi efek jera, dikatakan Riza, penegakan hukum harus menjangkau sampai kepada pemilik kapal dan korporasi. Penegakan hukum juga harus terpadu dari hulu sampai hilir. Sebab, setelah kapal pencuri ikan ditenggelamkan, prosesnya berlanjut ke pengadilan ad hoc perikanan.

Sayangnya, vonis pengadilan terhadap kasus pencurian ikan sangat rendah. Padahal, Riza mencatat dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, ada sanksi maksimal yang bisa dijatuhkan yakni penjara 6 tahun dan denda Rp20 milyar. Sampai sekarang ia belum melihat pengadilan memberi sanksi maksimal terhadap pelaku pencuri ikan, baik terhadap operator maupun korporasi dan pemilik kapal. “Kami berkesimpulan tindakan menenggelamkan kapal pencuri ikan tidak memberi efek jera,” kata Riza dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (11/12).

Riza mengatakan itu terjadi karena konstruksi hukum perikanan tidak diperkuat dengan terobosan yang dilakukan oleh pengadilan dalam memutus perkara. Itu berkaitan dengan kualitas dan profesionalitas aparat penegak hukum dibidang perikanan seperti jaksa dan hakim. Sebab, ia melihat selama ini jaksa tidak pernah mengajukan tuntutan maksimal. Ujungnya, vonis hakim terhadap pelaku pencuri ikan rendah.

Lemahnya penegakan hukum disektor kelautan dan perikanan juga bersinggungan dengan lambannya koordinasi antar instansi. Riza mencatat Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) terdiri dari 13 institusi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut dan Bea Cukai. Akibatnya, menghambat pemberantasan kejahatan yang terjadi di laut, termasuk pencurian ikan. Serta menyedot banyak anggaran.

Oleh karenanya Riza mengusulkan agar Bakorkamla dirombak menjadi lembaga yang terdiri dari satu institusi tapi mengerjakan banyak hal guna memberantas kejahatan di laut. Seperti pencurian ikan dan perdagangan manusia. Wewenang yang dipikul satu lembaga itu menurut Riza akan memangkas biaya operasional dan mendorong efektifitas. Untuk itu ia mendesak pemerintah segera membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagaimana amanat pasal 67 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

“Pasal 63 ayat (2) UU Kelautan menyebut kewenangan Bakamla terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali,” tukas Riza.

Peneliti Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti, mengatakan pengelolaan sektor perikanan dan kelautan sangat strategis bagi pemerintah. Sebab tahun depan Indonesia masuk dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ia menilai saat ini waktu yang tepat bagi Presiden Jokowi menerapkan strategi yang baik untuk menangani masalah pencurian ikan.

Agar penegakan hukum bisa menyasar pemilik kapal dan korporasi, Rachmi mengusulkan agar pemerintah menjalin diplomasi dengan berbagai negara. Sehingga, kasus pencurian ikan tidak lagi dilihat hanya masalah yang dihadapi oleh Indonesia tapi juga internasional. Itu diperlukan karena kejahatan pencurian ikan terorganisasi, melibatkan korporasi dan aparat. “Pemerintah perlu melakukan diplomasi guna mendorong agar pencurian ikan bukan sekedar kejahatan biasa tapi luar biasa (lintas negara),” ujar Rachmi.
Tags:

Berita Terkait