Penempatan Prajurit Pada Jabatan Sipil Diusulkan Berdasarkan Permintaan Kementerian/Lembaga
Terbaru

Penempatan Prajurit Pada Jabatan Sipil Diusulkan Berdasarkan Permintaan Kementerian/Lembaga

Selain ada permintaan, kementerian/Lembaga tujuan juga dalam posisi belum memiliki kompetensi yang dimiliki prajurit aktif yang bersangkutan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi prajurit TNI. Foto: RES
Ilustrasi prajurit TNI. Foto: RES

Rencana pemerintah dan DPR merevisi UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat sipil. Aspirasi yang disuarakan itu bukan tanpa sebab. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru memberikan pengalaman kepada masyarakat Indonesia bagaimana dampak militerisme. Reformasi membawa perubahan penting bagi TNI, terbitnya UU TNI mulai mengatur tata kelola dan menempatkan TNI sebagaimana posisinya dalam negara demokrasi. Salah satu yang diatur dalam beleid itu penempatan prajurit aktif untuk mengampu jabatan sipil tertentu yang sifatnya terbatas, tak sebebas masa Orde Baru.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Eddy Prasetyono, melihat Pasal 47 UU TNI menjadi salah satu ketentuan yang bakal direvisi. Saat ini jabatan sipil yang boleh diampu prajurit aktif hanya untuk 10 Kementerian/Lembaga. Arah revisi menambah jumlah Kementerian/Lembaga tersebut. Substansi yang perlu dielaborasi adalah mengenai jabatan tertentu yang bisa diampu prajurit TNI.

Tentu saja untuk menentukan jabatan sipil tertentu yang bisa diduduki prajurit perlu diatur melalui kebijakan Presiden. Kemudian, ada atau tidak jabatan yang tersedia disesuaikan dengan permintaan dari Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. TNI tidak bisa menempatkan prajuritnya secara langsung tanpa ada permintaan tersebut. “Saran saya sesuai dengan permintaan Kementerian/Lembaga tujuan, jadi jelas,” kata Eddy dalam dengar pendapat RUU Perubahan UU No. 34 Tahun 2004 yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis (13/07/2024).

Baca juga:

Selain syarat adanya permintaan dari Kementerian/Lembaga tujuan, Eddy juga mengusulkan penempatan prajurit aktif pada jabatan sipil dilakukan dalam rangka absennya kompetensi di instansi tujuan. Kementerian/Lembaga yang memiliki kompetensi tidak perlu meminta penempatan prajurit aktif. Selanjutnya penempatan itu tidak boleh mengurangi kemampuan TNI, sebab dalam membina prajurit sampai tingkat yang tertinggi membutuhkan sumber daya yang besar. Sehingga perlu diperhatikan apakah penempatan prajurit yang bersangkutan akan mempengaruhi atau tidak kemampuan TNI. “Kalau tidak mengurangi kemampuan TNI, dan kemudian ada permintaan Kementerian/Lembaga tujuan ya silakan penempatan,” urainya.

Terakhir, ketika Kementerian/Lembaga sudah memiliki kompetensi sebagaimana yang dibutuhkan, prajurit aktif yang sebelumnya ditempatkan itu berarti dikembalikan lagi ke institusi TNI. “Kalau Kementerian/Lembaga sudah punya kompetensi, maka lembaga itu tidak memerlukan kompetensi dari orang lain, maka penempatan TNI di lembaga tersebut tidak diperlukan lagi dan harus berakhir,” tegasnya.

Mengenai tugas pokok TNI sebagaimana diatur Pasal 7, Eddy mengatakan semangat ketentuan itu adalah menegakkan demokrasi. Sehingga, perlu ditegaskan siapa yang berwenang secara politik dan operasional. Panglima TNI tidak punya keputusan politik. Untuk menjalankan operasi militer diperlukan keputusan politik kecuali dalam hal penanganan bencana alam. Ke depan perlu diatur bentuk keputusan politik dan tingkatannya sesuai dengan operasi yang dibutuhkan.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana, mengatakan Pasal 7 tidak menjelaskan tugas pokok TNI dalam bentuk operasi militer untuk perang. Sedangkan operasi militer selain perang dijabarkan lebih rinci antara lain syarat diperlukannya kebijakan dan keputusan politik negara. Menurutnya perlu dikaji kembali relevansi “kebijakan dan keputusan politik” negara tersebut karena Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sama-sama butuh persetujuan. Ketimbang sibuk melihat apakah suatu tugas yang dilakukan TNI masuk kategori OMP atau OMSP lebih baik aturan ini dubah. Keputusan ini tetap diperlukan tapi perlu diatur apakah hanya Presiden saja, bersama DPR, atau Presiden mendelegasikan kepada Menteri Pertahanan.

Perlu dicermati ke depan tugas TNI tak hanya menjaga kedaulatan, tapi juga kepentingan nasional. Misalnya dalam menangani kapal yang dibajak karena TNI punya kemampuan untuk menjangkau lokasi. Kemudian peran TNI menjalankan tugas lainnya sebagaimana perintah penyelenggara negara. Tapi tetap hal ini harus berlandaskan keputusan politik yang tidak diterbitkan sendirian oleh Presiden, tapi bersama DPR, tapi proses birokrasinya jangan berberlit.

Soal TNI sebagai penegak hukum sebagaimana Pasal 9 dan Pasal 10 tentang tugas Angkatan Laut dan Angkatan Udara, prof Hikmahanto mengusulkan perlu diatur lebih lanjut apakah kewenangan mencakup penyidikan atau diserahkan kepada kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Perlu disiapkan juga anggaran yang memadai untuk melakukan proses penegakan hukum di wilayah laut dan udara itu. “Maka ini perlu menjadi pertimbangan dalam merevisi UU 34/2004,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait