Penembakan Pekerja di Papua Kategori Aksi Terorisme? Ini Penjelasannya
Utama

Penembakan Pekerja di Papua Kategori Aksi Terorisme? Ini Penjelasannya

Tindakan penembakan di Papua menunjukkan adanya kekerasan, menimbulkan teror, memiliki motif politik, dan menimbulkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil.

M-28
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Peristiwa penembakan di Papua pada Minggu (2/12) diduga menewaskan puluhan pekerja dalam proyek pembangunan Trans Papua yang sedang berada di Distrik Yall, Kab. Nduga, Papua. Sementara sejumlah pekerja lainnya dikabarkan berhasil melarikan diri dan dalam keadaan selamat. Selain itu, pos TNI Mbua, Kab. Nduga, Papua juga tidak luput dari penyerangan dan menewaskan satu anggota TNI dari Yonif 755 Kostrad.

 

Seperti diwartakan Antara, Kapolda Papua Irjen Pol.Martuani Sormin mengatakan bahwa pelaku penembakan itu adalah kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) pimpinan Egianus Kogoya. Pada Selasa pagi (3/12), dikabarkan bahwa 153 personel gabungan TNI-Polri telah menuju lokasi penembakan di Distrik Yall, Kab. Nduga, Papua untuk mengejar anggota KKSB pimpinan Egianus Kogoya yang melakukan penembakan.

 

Sementara itu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko secara tegas menyebut peristiwa ini sebagai terorisme. “Aksi-aksi terorisme, di mana 31 warga sipil yang sedang bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan Papua, justru menjadi korban. Sebuah kebiadaban, kami mengutuk peristiwa itu,” ujar Moeldoko saat ditemui di Bina Graha, Jakarta.

 

Apakah penembakan di Papua bisa digolongkan sebagai terorisme? Muhammad Syafi’i atau akrab disapa Romo berpendapat, yang berbeda, bahwa penembakan yang dilakukan oleh KKSB di Papua bisa disebut sebagai terorisme. Hal itu diutarakan Romo kepada Hukumonline, Rabu (5/12).

 

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Gerindra ini yang sebelumnya ikut terlibat dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Anti Terorisme) ini mengungkapkan bahwa peristiwa ini sesuai dengan definisi terorisme yang telah diatur undang-undang.

 

Pasal  1 angka 2 UU Anti Terorisme :

“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”

 

Dia menegaskan bahwa peristiwa penembakan ini jelas dilakukan dengan motif gangguan keamanan, namun untuk melihat ada atau tidaknya motif ideologi maupun politik perlu dikaji lagi. “Ini jelas sudah mengancam keamanan. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa penembakan di Papua tidak hanya menyasar warga sipil, namun juga anggota TNI,” ujar Romo.

 

Baca:

 

Dia meyakini bahwa ini adalah rangkaian dari perbuatan KKSB yang sudah terjadi berulang kali sebelumnya di Papua. Sehingga wilayah Papua perlu diperkuat pengamanan baik dari kepolisian maupun TNI. Selain itu, berkaca pada peristiwa di Aceh yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dia mengatakan bahwa penyelesaian yang perlu dilakukan oleh pemerintah harus melalui dua jalur yakni diplomasi dan militer.

 

“Untuk masalah ini kita perlu melakukan penyelesaian lewat diplomasi, tetapi juga tidak melupakan upaya represif. Upaya represif ini perlu dilakukan dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan menjunjung nilai kemanusiaan,” pungkasnya.

 

Pendapat senada muncul dari Heru Susetyo, Pengajar HAM dan Viktimologi Fakultas Hukum UI sekaligus pengamat terorisme, yang menyampaikan bahwa peristiwa penembakan di Papua memenuhi unsur terorisme dalam UU Anti Terorisme.

 

“Keinginannya untuk memisahkan diri dari NKRI ini bisa dianggap sebagai motif politik. Tindakan penembakan di Papua jelas menunjukan adanya kekerasan, menimbulkan teror, memiliki motif politik, dan menimbulkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Semua unsur itu sudah dipenuhi, jadi sudah bisa dikatakan terorisme,” ungkap Heru kepada Hukumonline.

 

Unsur dari tindak pidana terorisme Pasal 1 angka 2 UU Anti Terorisme disebutkannya sebagai berikut :

  1. Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
  2. Dengan tujuan :
  • Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
  • Menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan
  • Hilangnya nyawa dan harta benda orang lain
  • Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional
  1. Dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan

 

Peristiwa serupa misalnya terjadi di Thailand Selatan. Orang-orang melayu yang tinggal di sana memberontak dan ingin memisahkan diri dari Thailand. Kemudian pemerintah pusat di Bangkok menyebutnya sebagai tindakan terorisme. “Asalkan ada tindakan teror, motifnya bisa ideologi, politik, ingin memisahkan diri, itu tetap bisa disebut sebagai terorisme,” ujarnya. Selain di Thailand Selatan, peristiwa terorisme dengan motif politik juga terjadi di Vietnam Selatan, Myanmar, dan Irlandia Utara.

 

Hal yang disesalkan adalah maraknya media yang menyebut tindakan-tindakan separatis seperti di Papua ini bukan terorisme melainkan “hanya” pemberontakan. Mengenai hal ini Heru berpendapat jika ada framing dari penguasa. Pemerintah sengaja tutup mata dengan unsur kejahatan terorisme yang dilakukan atas nama menjaga keutuhan NKRI.

 

Baca:

 

Ia mencontohkan framing semasa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lazim oleh penguasa disebut sebagai pemberontakan. “Sehingga bila disebut sebagai “terorisme” justru yang dikhawatirkan akan menghambat upaya perdamaian,” Heru menambahkan. Kekhawatiran terhadap adanya wilayah yang memisahkan diri dari NKRI membuat penguasa lebih sering menggunakan istilah “pemberontak” dibanding “teroris” terhadap kelompok-kelompok separatis.

 

Selain itu, alasan lain yang membuat gerakan separatis tidak lazim digolongkan ke dalam terorisme adalah karena konsep terorisme yang lahir dari peristiwa 9/11 yang meruntuhkan gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat. “Narasi yang dibangun semenjak peristiwa 9/11, kemudian bom Bali, lalu ISIS memicu pandangan umum bahwa terorisme terasosiasi dengan Muslim, Islam, ataupun Arab. Sehingga kalau dia bukan Muslim, bukan Arab ataupun Timur Tengah tindakannya tidak disebut sebagai teroris,” tambahnya.

 

Padahal ada banyak kasus yang bisa digolongkan ke dalam terorisme dan dilakukan oleh orang yang tidak terasosiasi dengan Muslim maupun Timur Tengah. Heru menyebutkan contoh kasus terorisme di Amerika Serikat. “Salah satu kasus lone wolf terrorism di Las Vegas di mana seorang kulit putih membantai orang banyak. Kemudian anak muda yang membantai guru dan murid-muridnya, korbannya banyak. Namun tindakan ini tidak disebut terorisme. Sementara saat orang berwajah Arab menabrak sejumlah pejalan kaki di pedestrian langsung disebut teroris,” tutur Heru.

 

Narasi terorisme yang dibangun oleh penguasa menentukan siapa “orang” yang bisa disebut teroris dan yang bukan. “Kenapa ISIS disebut teroris? Al Qaeda disebut teroris? Sementara gerakan separatis semacam Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak bisa disebut teroris? Padahal sama-sama memiliki keinginan untuk berkuasa di wilayah itu,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia, mengatakan bahwa peristiwa ini harus diusut sebagaimana mestinya sesuai sistem peradilan pidana dengan menjamin semua hak-hak korban dan sesuai dengan prinsip fair trial.

 

Terkait penembakan di Papua, lanjut Genoveva, peristiwa tersebut tidak mengandung nature utama dari terorisme yaitu menciptakan rasa takut. “Sebenarnya jika kejahatan terorisme diartikan secara luas, maka bisa saja perbuatan penembakan itu digolongkan sebagai terorisme. Tapi motif dari tindakannya kan bukan untuk menciptakan rasa takut,” ungkap Genoveva.

 

“Kalau dicocok-cocokan unsurnya bisa saja masuk. Tapi apakah tindakan ini benar untuk menimbulkan rasa takut, teror, kegoncangan di masyarakat atau justru bentuk ‘melawan’ pemerintah,” tambahnya.

 

Menurut Genoveva, perbedaan utama antara terorisme dengan gerakan separatisme adalah tujuannya. Terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut sementara gerakan separatisme atau pemberontakan itu berkeinginan untuk menjadi kombatan dan tujuannya memisahkan diri dari wilayah RI.

 

Selain narasumber di atas, Hukumonline mencoba menghubungi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius namun tidak mendapat respon. Sedangkan  Mufti Makarim peneliti keamanan dan pertahanan Lokataru enggan berkomentar mengenai kasus ini.

Tags:

Berita Terkait