Penelitian Hukum Masih Sebatas Business as Usual
Berita

Penelitian Hukum Masih Sebatas Business as Usual

Kebutuhan atas peneliti hukum cukup besar.

Mys
Bacaan 2 Menit
Penelitian Hukum Masih Sebatas <i>Business as Usual</i>
Hukumonline

Penelitian dan pengkajian hukum di Indonesia belum berkembang antara lain karena jumlah tenaga fugsional peneliti masih minim. Jumlah penelitian dan pengkajian hukum memang terus bertambah, tetapi hasilnya belum sesuai dengan harapan. Belum lagi kualitas penelitian dan pengkajian.

 

Lembaga-lembaga hukum, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi masih harus mengoptimalkan penelitian dan pengkajian agar hasilnya lebih bermanfaat. Riset hukum kalangan perguruan tinggi belum memperlihatkan kontribusi nyata bagi pengembangan hukum nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) misalnya hanya bisa menghasilkan 10 penelitian dan 10 pengkajian hukum setiap tahun. Gambaran tak jauh beda ditemukan di lembaga-lembaga hukum lain.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, Aloysius Wisnubroto, berpendapat budaya penelitian hukum di kalangan perguruan tinggi masih sering bercorak business as usual. Penelitian dan pengkajian acapkali dilakukan akademisi guna memenuhi syarat kenaikan pangkat atau sertifikasi dosen. “Banyak penelitian yang sekadar untuk memenuhi persyaratan formal tridharma perguruan tinggi,” ujarnya.

 

Dengan kata lain, hasil penelitian yang memiliki nilai kemanfaatan relatif belum dominan. Hasil penelitian masih lebih banyak memenuhi kebutuhan internal: ditulis sendiri, dicetak sendiri, dan dibaca (dinikmati) sendiri. Kondisi ini bukan hanya ditemukan di lembaga-lembaga hukum, tetapi juga di perguruan tinggi.

 

Penelitian hukum yang dilaksanakan dosen tak banyak dinikmati mahasiswa. Akibatnya, budaya penelitian di kalangan mahasiswa hukum sulit diharapkan tumbuh kembang. “Orientasi mahasiswa hukum bukan lagi ke penelitian, atau berorientasi keilmuan. Mahasiswa terjebak kebutuhan sesaat,” kata Windu Wijaya, Ketua Umum DPP Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi).

 

Cuma, Wisnubroto mengingatkan agar tidak menggeneralisasi kalangan akademisi malas melakukan penelitian hukum. Fakultas hukum tertentu bisa menghasilkan penelitian yang diterbitkan lewat jurnal baik yang diterbitkan sendiri maupun yang diterbitkan lembaga lain.

 

Faktanya, tetap ada dosen yang tekun melakukan penelitian hukum dan memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal terakreditasi. Kalangan perguruan tinggi masih menjadi tumpuan bagi lembaga hukum untuk melakukan penelitian dan pengkajian. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial banyak menggandeng perguruan tinggi melakukan penelitian dan pengkajian hukum. “Kami bekerjasama dengan sekitar 98 perguruan tinggi,” jelas Noor Sidharta, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi (Puslitka MK).

 

Fungsional peneliti

Selain bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga-lembaga hukum mengandalkan kemampuan peneliti hukum internal. Di banyak lembaga, ada divisi khusus penelitian dan pengkajian yang tugas pokoknya antara lain melakukan riset hukum. Ironinya, jumlah tenaga fungsional peneliti hukum di Indonesia masih belum sebanding dengan kebutuhan. Di tengah banyaknya persoalan hukum dan target legislasi, kebutuhan atas peneliti hukum relatif besar. Penelitian dan pengkajian hukum acapkali dibutuhkan untuk kebutuhan lembaga.

 

Mahkamah Konstitusi misalnya. Di sini, penelitian dan pengkajian hukum dibutuhkan dalam rangka mendukung kerja-kerja hakim konstitusi. Dalam menangani permohonan pengujian Undang-Undang dan sengketa pilkada, hakim konstitusi mendapat dukungan para peneliti dan pengkaji hukum. Noor Sidharta, Kepala Puslitka MK, menegaskan saat ini ada dua orang peneliti hukum yang membantu seorang hakim konstitusi. Jumlah ini, kata dia, belum ideal apalagi jika jumlah perkara yang harus ditangani membludak. “Idealnya lima orang peneliti untuk satu hakim konstitusi”.

 

Mahkamah Konstitusi memiliki 21 orang peneliti hukum. Namun mereka belum resmi diangkat menjadi tenaga fungsional peneliti. Rencananya baru tahun ini diangkat, itu pun kemungkinan baru 8 orang, yakni mereka yang pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan penelitian di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

 

Noor Sidharta sepakat jumlah dan kualitas peneliti hukum hasil ditingkatkan. Salah satu yang dilakukan MK adalah mengirim peneliti hukum untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, termasuk ke luar negeri.

Tags:

Berita Terkait