Peneliti Ini Uraikan 5 Persoalan HAM Pada Industri Budidaya Udang
Terbaru

Peneliti Ini Uraikan 5 Persoalan HAM Pada Industri Budidaya Udang

Mulai dari eksistensi petambak perempuan belum diakui; pelanggaran hak pekerja perempuan; dampak lingkungan; mitigasi bencana dan perubahan iklim; serta rencana dan pengembangan Shrimp Estate.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi peluncuran Riset Bisnis dan HAM di Sektor Perikanan: Dukungan dan Peran Pemangku Kepentingan Terhadap Sektor Budidaya Udang, Rabu (27/6/2022). Foto: ADY
Narasumber dalam diskusi peluncuran Riset Bisnis dan HAM di Sektor Perikanan: Dukungan dan Peran Pemangku Kepentingan Terhadap Sektor Budidaya Udang, Rabu (27/6/2022). Foto: ADY

Indonesia merupakan produsen udang terbesar kedua di dunia setelah Cina. Ekspor udang Indonesia mencapai 900 ribu ton per tahun. Tahun 2024, pemerintah menargetkan ekspor udang naik sampai 250 persen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target tersebut yakni menggulirkan Major Project Revitalisasi Tambak di Sentra Produksi Udang dan Bandeng melalui Perpres No.18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.

Infid meluncurkan Riset Bisnis dan HAM dengan judul Bisnis dan HAM di Sektor Perikanan: Dukungan dan Peran Pemangku Kepentingan Terhadap Sektor Budidaya Udang. Salah satu peneliti riset, Yanu Endar Prasetyo, mengatakan sedikitnya ada sejumlah persoalan HAM di sektor budidaya udang.

“Sektor perikanan merupakan solusi pangan berkelanjutan. Potensi Indonesia besar di sektor air tawar, payau, dan laut. Ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Tapi bagaimana praktik budidaya tersebut terhadap pemenuhan HAM,” kata Yanu Endar Prasetyo dalam diskusi sekaligus peluncuran riset tersebut, Rabu (27/4/2022).

Baca:

Yanu menjelaskan riset tersebut dilakukan selama 4 bulan di sejumlah daerah sentra budidaya udang meliputi Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Riset ini memberikan pandangan bagaimana fakta di lapangan dalam kerangka bisnis dan HAM.

Dari hasil riset itu, setidaknya ditemukan 5 persoalan HAM di sektor budidaya udang. Pertama, eksistensi petambak perempuan belum diakui. Perempuan petambak memiliki pekerjaan ganda karena selain mengurus tambak mereka juga mengurusi rumah tangga. Bahkan mencari pinjaman untuk menghadapi masa sulit. Organisasi perempuan petambak masih sulit mendapat tempat dan pengakuan di tengah komunitas petambak yang mayoritas laki-laki.

Kedua, pelanggaran hak pekerja perempuan di industri pengolahan udang. Yanu mengungkapkan kondisi lingkungan kerja dalam proses pengolahan udang mencakup kebersihan tempat kerja, faktor fisik, kimia, dan biologi yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap kesehatan tenaga kerja, terutama perempuan.

“Penggunaan khlorin cukup tinggi, sehingga setiap pekerja wajib memakai alat pelindung diri,” ujarnya.

Ketiga, dampak lingkungan selama ini belum diantisipasi dan ditangani. Tambak udang menghasilkan limbah yang dibuang ke perairan. Hal tersebut menurut Yanu perlu ditangani karena tidak semua tambak memiliki pengolahan air limbah yang mamadai. Pengolahan limbah itu tidak murah, tapi jika tidak dilakukan dapat menimbulkan virus yang menyebar dan menurunkan produktivitas udang.

Keempat, mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim sektor akuakultur. Yanu menjelaskan hasil riset di pesisir Tuban menunjukan perubahan iklim dirasakan dampaknya oleh petambak udang, misalnya gagal panen, turunnya produktivitas sehingga menyebabkan biaya operasional meningkat.

Kelima, rencana dan risiko pengembangan Shrimp Estate. Menurut Yanu, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menggandeng Pemerintah Kabupaten Jawa Tengah untuk pengembangan kawasan tambak udang skala besar atau shrimp estate pertama di Indonesia.

Shrimp estate merupakan skema budidaya udang berskala besar dimana proses hulu sampai hilir berada dalam satu kawasan. Dalam proses produksinya didukung teknologi yang ditujukan untuk mendorong agar produksi melimpah, mencegah berbagai penyakit, dan ramah lingkungan.

Mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan Yanu menyebut rencana tersebut membutuhkan lahan seluas 11 ribu hektar. Dari total luas tersebut sebanyak 5 ribu hektar dibangun pemerintah dan sisanya swasta.

Yanu mengingatkan dalam merencanakan Shrimp Estate yang menjadi fokus jangan sekedar masalah teknis, tapi juga hubungan yang berkeadilan antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja/buruh. “Sehingga tanggung jawab masing-masing pihak jelas dan meminimalkan potensi pelanggaran HAM.”

Tags:

Berita Terkait