Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup di RKUHP Jadi Sorotan
Berita

Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup di RKUHP Jadi Sorotan

Ketentuan unsur perbuatan melawan hukum dianggap sultikan pembuktian. Muncul kekhawatiran pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan lolos ancaman pidana.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perusakan lingkungan hidup. BAS
Ilustrasi perusakan lingkungan hidup. BAS

Wacana rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) semakin santer disetujui pada Sidang Paripurna DPR terakhir periode 2014-2019, Selasa, 24 September 2019. Menjelang detik-detik akhir tersebut, ternyata muatan pasal RKUHP dianggap masih menyimpan masalah salah satunya penegakan hukum pidana pada sektor lingkungan hidup.

 

Permasalahan yang jadi sorotan mengenai pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dan pertanggungjawaban korporasi yang luput yang dalam RKUHP. Pasalnya kedua hal ini justru mempersuli dan melemahkan penegakan hukum pidana lingkungan hidup. Hal ini disampaikan Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G Sembiring.

 

Dia menjelaskan pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKHUP merupakan kemunduran dalam penegakan hukum pidana lingkungan hidup. Sebab, pengaturannya justru kembali mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengharuskan terdapat unsur melawan hukum dalam menjatuhkan sanksi kerusakan dan pencemaran lingkungan.

 

Padahal, dia menjelaskan unsur melawan hukum tersebut justru menghambat proses penegakan hukum. Selain itu, Seperti yang diatur UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 98 sudah tidak memuat unsur melawan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup. Sehingga, prinsip semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum.

 

“Dengan dicantumkannya unsur melawan hukum ini tentu akan menghambat proses pembuktian. Selain itu, delik pencemaran dan kerusakan juga dirumuskan dalam delik materiil yang memerlukan akibat, padahal pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dalam UU 32/2009 tidak lagi memerlukan akibat,” jelas Raynaldo, Selasa (10/9/2019).

 

Terdapat juga pendapat ahli yang menyatakan unsur melawan hukum ini tidak terjadi apabila terdapat izin dari pemerintah meski terdapat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang dilakukan korporasi atau badan hukum lainnya.

 

“Ada catatan negatif (pengadilan) dari pendapat ahli yang menyatakan unsur melawan hukum itu tidak terbukti apabila terdapat izin. Sehingga, izin tersebut menjadi legalitas (kerusakan lingkungan),” tambah Raynaldo.

 

Lebih lanjut, ketentuan perumusan pidana badan pun sangat tinggi, padahal mayoritas kasus tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh korporasi. (Baca Juga: Masih Berfilosofi Kolonial Diharapkan RKUHP Tidak Buru-Buru Disahkan)

 

Dalam kesempatan berbeda, peneliti ICEL, Marsya M Handayani menilai RKUHP keliru merumuskan pengertian korporasi, pertanggungjawaban pidana korporasi, dan pengkodifikasian. Menurutnya, penafsiran korporasi dalam RKUHP dirumuskan sangat luas sehingga menghilangkan maknanya sebagai badan hukum. Hal ini menyebabkan pertanggungjawabannya menjadi secara pribadi.

 

“Pertanggungjawabannya pun bablas menjadi pertanggungjawaban perdata dengan diaturnya badan usaha non-badan hukum yang pertanggungjawabannya dilakukan secara pribadi, tidak atas nama korporasi,” ungkapnya.

 

Sementara, Marsya menambahkan upaya kodifikasi tindak pidana lingkungan hidup berpotensi menimbulkan dualisme karena tidak mencabut core crime yang ada dalam UU 32/2009 melainkan merujuk pada UU 23/1997 (vide pasal 626 ayat (1) huruf c). Seharusnya, KUHP terbaru diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

 

Dengan demikian, dia menyatakan pihaknya merekomendasikan untuk ,enarik pembahasan RKUHP untuk dikaji ulang. Kemudian, perlu perbaikan dengan menyesuaikan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP dengan UU 32/2009. Langkah lain juga dapat dilakukan dengan mengeluarkan tindak pidana lingkungan hidup dari RKUHP dan memperbaiki ketentuan tentang korporasi dan pertanggungjawabannya.

 

Perlu diketahui, DPR menyatakan bersama pemerintah telah menyelesaikan hampir secara keseluruhan RKUHP tersebut. Nantinya, RKUHP ini direncanakan akan disahkan sebagai UU dalam rapat paripuran DPR. RUU KUHP ini dapat berlaku efektif dalam jangka waktu panjang, dan mengharapkan tindak pidana korupsi tidak ada lagi di Indonesia. 

 

Sesuai surat DPR yang beredar luas di masyarakat tertanggal 26 Agustus 2019 perihal undangan Rapat  Paripurna DPR RI tanggal 27 Agustus 2019, DPR telah menjadwalkan pengesahan sejumlah RUU menjadi UU. Salah satunya, dalam Rapat Paripurna pada 24 September 2019, DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan menjadi undang-undang. 

 

Tags:

Berita Terkait