Penegakan Hukum Lemah, Kebocoran Data Pribadi Rentan Berulang
Berita

Penegakan Hukum Lemah, Kebocoran Data Pribadi Rentan Berulang

Perilaku masyarakat mengumbar informasi pribadi menjadi salah satu faktor utama kebocoran data pribadi. Bahkan, informasi pribadi tersebut diunggah secara sukarela.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kasus kebocoran data pribadi di internet makin sering bermunculan. Bahkan, berbagai kasus kebocoran data menimpa perusahaan global raksasa. Kebocoran data juga terjadi di Indonesia, sejumlah akun dan data pribadi pengguna internet bocor melalui media sosial hingga e-commerce. Sayangnya, penegakan hukum kasus kebocoran data pribadi di Indonesia sangat lemah dibandingkan luar negeri. Kondisi ini berisiko kasus kebocoran data pribadi akan terus berulang tanpa penegakan hukum.

Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi, menyatakan prihatin bahwa perlindungan konsumen terhadap kebocoran data pribadi masih lemah. Berbagai persoalan seperti lemahnya penegakan hukum, rendahnya pemahaman masyarakat serta belum terdapatnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi belum terselesaikan saat ini.

“Ini keprihatinan kita bahwa konsumen belum dapat perlindungan memadai. Meski dari sisi regulasi sebenarnya ada juga di UU ITE bagaimana data pribadi harus dijaga, dilindungi dan ada juga Peraturan Kominfo soal perlindungan data pribadi. Walaupun sekarang juga di DPR sedang dibahas RUU PDP,” jelas Heru dalam diskusi online, Kamis (15/4).

Heru menyampaikan berbagai platform media sosial, fintech serta e-commerce terdapat kelemahan yang berisiko kebocoran data pribadi. Sayangnya, berbagai pihak termasuk pelaku usaha justru tidak transparan terhadap risiko tersebut khususnya saat terjadi kebocoran data. “Kalau ada peristiwa seperti ini (kebocoran) rata-rata diam. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian, harusnnya mereka bicara ke konsumen untuk mengganti password-nya paling tidak ada emergency alert karena diterobos sistem keamanannya,” tambah Heru. (Baca: Transaksi E-Commerce Diprediksi Naik, Perlindungan Konsumen Perlu Diperkuat)

Kemudian, Heru juga menyayangkan regulator masih belum serius menangani kemanan data pribadi. “Konsumen Indonesia belum aware, regulator juga anggap ini hal sepele. Padahal ada kejadian menarik di luar negeri saat Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) akui datanya bocor tapi yang lucunnya di Indonesia bilang tidak ada kebocoran dan mereka (regulator) meng-entertain yang seharusnya pihak bersalah,” jelas Heru.

Dia menyampaikan BPKN berupaya mengedukasi masyarakat mengenai keamanan data pribadi. Dia berharap melalui kegiatan tersebut masyarakat dapat mengamankan akun atau data pribadinya secara mandiri melalui perubahan berkala sandi dan tidak mengumbar informasi pribadi di internet.

“Perlu pemberdayaan pada konsumen karena enggak semuanya paham teknologi. Kemudian, tidak semua masyarakat mampu memanfaatkan teknologi baru ini secara baik sehingga mudah ditipu-tipu,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat keamanan siber, Teguh Apriyanto menyampaikan perilaku masyarakat mengumbar informasi pribadi menjadi salah satu faktor utama kebocoran data pribadi. Bahkan, informasi pribadi tersebut diunggah secara sukarela. “Kebanyakan masyarakat dengan sukarela memberikan data pribadinya,” jelas Teguh.

Dia mendorong pemerintah giat mengedukasi masyarakat mengenai pengamanan data pribadi. Dia menjelaskan kebocoran data pribadi berisiko rugikan masyarakat karena dapat disalahgunakan untuk kejahatan.

“Data itu bisa digunakan berbagai macam tujuan termasuk mengintimadasi seseorang. Harus ada edukasi kepada masyarakat mengantisipasi saat terjadi kebocoran data seperti menerima email phising, atau telepon dari orang yang ingin meminta kode pribadi. Itu harus diedukasi dan butuh waktu. Banyak korbannya orang yang cukup berumur karena tidak paham,” jelas Teguh.

Secara terpisah, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza, menyampaikan salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui integrasi literasi digital dengan kurikulum pendidikan. Upaya peningkatan literasi digital perlu terintegrasi dengan kurikulum karena kemampuan literasi digital sangat dipengaruhi dengan kemampuan literasi baca tulis, yakni kemampuan membaca, menulis, mencari, menganalisis, mengolah dan membagikan teks tertulis. Sayangnya, performa Indonesia di bidang literasi baca tulis termasuk rendah.

Nadia melanjutkan, salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini. Padahal, literasi digital perlu diasah sejak dari pendidikan dasar. Dalam, Kurikulum Nasional 2013 mengamanatkan penerapan High Order Thinking Skills (HOTS) tetapi tidak terintegrasi dengan baik atau diajarkan secara luas selama pelatihan guru di Indonesia.

Menurutnya, dalam praktik, pendidikan Indonesia berfokus pada pendekatan pembelajaran yang kurang mengasah keterampilan berpikir kritis seperti menghafal dan mengerjakan soal-soal yang jawabannya dapat dengan mudah ditemukan di buku pelajaran tanpa melewati proses berpikir yang dalam. Padahal, literasi digital merupakan salah satu kemampuan yang dibutuhkan di abad 21. Keterampilan literasi digital memberi siswa kemampuan untuk berkembang dalam lingkungan digital yang dinamis seperti sekarang ini.

“Mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang ada di sekolah-sekolah juga belum optimal dalam meningkatkan literasi digital.  Faktanya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 37 Tahun 2016 tentang implementasi pembelajaran TIK lebih berfokus pada kemampuan peserta didik dalam mengoperasikan perangkat teknologi dan internet daripada kemampuan menganalisis dan memproses informasi yang didapat secara daring,” jelas Nadia.

Tags:

Berita Terkait