Penegakan Hukum Bidang Perikanan Perlu Memperhatikan Faktor Kemanfaatan
Terbaru

Penegakan Hukum Bidang Perikanan Perlu Memperhatikan Faktor Kemanfaatan

Penegakan hukum yang dilakukan tak melulu soal kepastian hukum dan keadilan tapi juga memperhatikan kemanfaatan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kasubdit Gakkum Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri Kombes Pol Rustam Mansur dalam diskusi yang digelar Hukumonline di Jakarta, Kamis (25/5/2023). Foto: RES
Kasubdit Gakkum Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri Kombes Pol Rustam Mansur dalam diskusi yang digelar Hukumonline di Jakarta, Kamis (25/5/2023). Foto: RES

Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayah lautannya lebih luas ketimbang daratan. Oleh karena itu Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar di sektor kelautan dan perikanan. Dalam mendorong industri kelautan dan perikanan yang berkelanjutan pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi. Seperti UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah (PP) No.11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Penegakan hukum diperlukan untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut.

Kepala subdirektorat (Kasubdit) Penegakan Hukum (Gakkum) Direktorat Polisi Perairan (Ditpolair) Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Korpolairud) Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) Polri Kombes Pol Rustam Mansur, menilai karakter kerja di sektor penangkapan ikan tergolong berbahaya, kotor, dan sulit. Hal itu membuat persoalan di sektor industri kelautan dan perikanan cukup rumit.

Ada banyak aturan yang harus diperhatikan di sektor industri tersebut. Misalnya Pasal 41 ayat (3) UU No.45 Tahun 2009 menyebutkan, “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk”.

Baca juga:

Sementara PP 11/2023 mengatur pelabuhan tempat mendaratkan ikan hasil tangkapan lebih fleksibel dan rinci. Dalam melakukan penegakan hukum, Rustam yang mantan Kapolres Sukabumi itu mengatakan, yang perlu dicermati tak hanya masalah hukum saja tapi juga menelusuri akar persoalannya.

Misalnya soal pendangkalan muara sehingga kapal tidak bisa bersandar, akibatnya nelayan mengangkut BBM ke kapal. Padahal kondisi tersebut tidak boleh terjadi, karena membuka peluang penyalahgunaan BBM bersubsidi. Ada juga persoalan terkait keselamatan nelayan. Melihat berbagai persoalan yang dihadapi di lapangan, Rustam mengatakan penegakan hukum dilakukan secara komprehensif dan bijaksana.

Perwira menengah (Pamen) polisi berpangkat melati tiga itu menilai, tak jarang dalam melakukan pengawasan aparat kepolisian menghadapi dilema karena ada dugaan pelanggaran yang sifatnya adminstrasi. Tapi penegakan hukum terkendala karena ada resistensi dari masyarakat. Alhasil, proses penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindakan yang sifatnya tidak bisa ditoleransi dan destruktif seperti penangkapan ikan menggunakan alat peledak.

“Dalam melakukan penegakan hukum yang kami kejar tak hanya kepastian hukum dan keadilan, tapi juga penegakan hukum itu memberikan kemanfaatan,” ujar Rustam dalam diskusi internasional bertema “Hukumonline International Law Webinar Series 2023 Keselamatan Maritim: Tata Kelola dan Penegakan Hukum Kapal Perikanan Nelayan di Indonesia”, Kamis (25/05/2023).

Setidaknya berdasarkan catatan kepolisian, hingga jelang pertengahan tahun 2023 ada 70 tindakan penegakan hukum yang dilakukan untuk kasus penangkapan ikan secara ilegal. Sementara di periode 2022 tercatat kerugian negara dari tindakan penangkapan ikan ilegal itu mencapai lebih dari Rp153 miliar.

Di tempat yang sama, Chief Executive Officer (CEO) Fish Safety Foundation Eric Holliday, mengatakan secara umum 12 persen populasi dunia secara langsung dan tidak bergantung pada sektor perikanan. Sebanyak 40-60 juta populasi berkaitan langsung dengan penangkapan ikan. Lebih dari 90 persen pekerjaan tergolong dalam sektor industri penangkapan ikan skala kecil.

Eric mencatat, mayoritas nelayan di Indonesia berskala kecil yang menggunakan kapal dengan kapasitas di bawah 10 Gross Tonnage  (GT). Para nelayan Indonesia berada dalam tingkat keamanan yang rawan karena minim pelatihan, dampak dari perubahan iklim, dan penangkapan ikan secara ilegal.

“Organisasi pangan PBB (FAO) memperkirakan ada 80-200 kematian per 100.000 nelayan,” paparnya.

Eric mengingatkan, industri perikanan adalah salah satu industri yang paling berbahaya dengan tingkat kematian lebih dari 100.000 per tahun. Regulasi mandiri tidak berjalan baik di bidang maritim, penerbangan, nuklir, kereta api dan lainnya. Karena itulah dibutuhkan regulasi internasional dan nasional yang kuat.

“Kita membutuhkan kerangka regulasi global. Pemerintah bertanggungjawab terhadap nelayan, dan nelayan harus dilibatkan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait