Penegakan HAM Polri Hanya Di Atas Kertas
Berita

Penegakan HAM Polri Hanya Di Atas Kertas

Banyak pelanggaran HAM dalam proses penyidikan

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)

Komnas HAM mencatat Polri sebagai institusi yang paling banyak diadukan oleh masyarakat. Dari 1.635 pengaduan terhadap polisi di tahun 2012, 893 di antaranya berkaitan dengan diskriminsi hukum dalam penyidikan. Sedangkan 134 pengaduan tentng penahanan dan penangkapan, 104 pengaduan soal tindak kekerasan dan 39 pengaduan terkait penyiksaan. Mengacu hal itu Komnas HAM menilai komitmen Polri terhadap penegakan HAM hanya ‘di atas kertas’.

Mengenai penyiksaan dalam proses pemeriksaan, Komnas HAM memandang hal itu sebagai kejahatan serius yang terjadi secara terpola dan sistemik di tubuh kepolisian. Sayangnya, kejahatan serius itu belum dapat diproses secara hukum karena adanya kekosongan hukum. Oleh karenanya, Komnas HAM mengajak pemerintah menyusun UU Anti Penyiksaan.

Ketua Komnas HAM periode 2012-2017, Otto Nur Abdullah mengaku sudah menyampaikan keluhan masyarakat kepada Polri. "Itulah yang banyak dilaporkan masyarakat," kata dia dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Selasa (11/12).

Lebih jauh Otto menyangkal pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu yang menyebut tingkat pelanggaran HAM vertikal menurun. Menurut Otto harus dibedakan antara pelanggaran HAM vertikal dan konflik vertikal. Pelanggaran HAM vertikal terkait dengan instansi tertentu. Misalnya, di masa Komnas HAM berdiri, TNI paling banyak diadukan, tapi sekarang Polri yang terbanyak.

Dengan bergesernya pelanggaran HAM vertikal yang tadinya dilakukan oleh TNI sekarang Polri bukan berarti pelanggaran itu tidak sebesar konflik vertikal. Menurut Otto konflik vertikal masih terjadi di Papua. Misalnya antara militer dan organisasi papua merdeka (OPM).

Untuk saat ini, Otto melihat yang marak terjadi adalah konflik horizontal yang dipicu masalah intoleransi seperti agama, suku dan ras. Persoalan yang ada terkait konflik horizontal menurut Otto berkaitan dengan peran negara. Apakah aparat negara sudah menjalankan tugasnya mencegah konflik meletus, atau aparat ada ketika konflik mereda. Dari pengaduan yang masuk terkait intoleransi, Komnas HAM mencatat ada 58 pengaduan soal kebebasan beragama.

Namun, Komnas HAM secara umum menilai konflik sosial sebagian besar berakar dari pola pembangunan yang bertumpu pada ekonomi pasar. Untuk membenahi hal itu Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menggunakan pembangunan berbasis HAM. Sehingga distribusi kesejahteraan dan keadilan ke masyarakat dapat dilakukan dengan baik.

Khusus untuk aparat kepolisian, Komnas HAM merekomendasikan agar dibentuk sistem deteksi dini yang efektif dan menggunakan pendekatan persusif. Serta Polri dituntut aktif memberi perlindungan terhadap korban.

Sebelumnya, Kabag Penum Polri, Brigjen Boy Rafli Amar, mengakui bahwa HAM penting untuk diimplementasikan. Sejalan dengan itu setiap calon anggota Polri harus mengikuti mata kuliah tentang HAM. Menurutnya, itu bagian dari upaya Polri agar aparat yang bertugas nanti tidak melakukan pelanggaran HAM. “Jadi itu (pendidikan HAM,-red) diberikan untuk anggota Polri,” katanya dalam diskusi memperingati hari HAM sedunia di gedung Komnas HAM Jakarta, Senin (10/12).

Menurut Boy, komitmen Polri terhadap penegakan semakin kuat dengan diterbitkannya sejumlah peraturan internal Polri, salah satunya Komitmen Bersama Polri yang diterbitkan awal tahun ini. Tapi, Boy menekankan kesadaran HAM masyarakat turut digalakkan, sehingga pelanggaran HAM, khususnya konflik horizontal dapat diminimalisir. Dalam mencegah konflik, Boy menyebut Polri sudah membangun sistem pencegahan dini dengan menggandeng lembaga negara lain dan masyarakat. Misalnya, pemerintah daerah, intelijen dan tokoh masyarakat.

Korporasi Pelanggar HAM
Pada kesempatan yang sama, komisioner Komnas HAM lainnya, Natalius Vigay, mengatakan korporasi menempati urutan kedua terbanyak yang diadukan masyarakat. Secara keseluruhan, jumlah pengaduan masyarakat yang masuk terkait korporasi sebanyak 1.009. Yaitu 399 pengaduan terkait sengketa lahan, 276 ketenagakerjaan dan 72 tentang lingkungan. Dari data itu Komnas HAM menilai korporasi menjadi pihak non negara yang berpotensi besar melakukan pelanggaran HAM.

Khusus ketenagakerjaan, Vigay mengatakan Komnas HAM telah menerima beberapa pengaduan terkait pemberangusan serikat pekerja dan kriminalisasi terhadap pengurus serikat pekerja. Sebagai upaya nyata, Vigay menyebut Komnas HAM segera menindaklanjuti pengaduan itu dengan berkomunikasi dengan perusahaan yang bersangkutan dan kepolisian. "Mendesak perusahaan memenuhi hak pekerja," ucapnya.

Alih-alih memajukan hak ekonomi sosial dan budaya, Komnas HAM menilai perusahaan, khususnya di bidang perkebunan dan sumber daya alam malah melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Untuk membenahi persoalan itu Komnas HAM mengadakan riset tentang bisnis dan HAM pada 2012. Nantinya, riset itu menjadi pedoman dan regulasi nasional untuk mengatur agar korporasi lebih ramah HAM.

Impunitas
Terkait impunitas, sampai saat ini Komnas HAM masih menindaklanjuti hasil penyelidikan yang telah dilakukan komisioner Komnas HAM periode 2007 - 2012. Menurut komisioner Komnas HAM lainnya, Roichatul Aswidah, Komnas HAM sudah membentuk tim kecil yang khusus menangani persoalan impunitas sekaligus mengawal tindak lanjut hasil penyelidikan Komnas HAM.

Seperti kasus pembunuhan massal 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus). Agar hasil penyelidikan itu segera ditindklanjuti lembaga terkait, Roichatul menyebut Komnas HAM akan melakukan komunikasi politik. "Mengganteng partai politik," ujarnya.

Terkait hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang dikembalikan Kejaksaan Agung (Kejagung) ke Komnas HAM pada awal November 2012 karena berkasnya dianggap kurang lengkap, Otto menambahkan, Komnas HAM telah melengkapinya. Kelengkapan berkas yang diaanggap kurang itu sudah dikembalikan Komnas HAM ke Kejagung pada pertengahan November 2012. Begitu pula dengan hasil penyelidikan kasus Petrus.

Bagi Otto, kerap dikembalikannya hasil penyelidikan Kejagung terkait dengan adanya ketentuan dalam UU Pengadilan HAM yang memungkinkan adanya "ping-pong politik." Dimana lembaga yang berkaitan bisa saling lempar melempar berkas. Oleh karenanya, Komnas HAM mengusulkan agar UU Pengadilan HAM direvisi untuk memberi kepastian hukum.

Soal kekerasan terhadap wartawan, komisioner Komnas HAM yang berlatar belakang jurnalis, Siane Indriani, mengatakan awak jurnalis yang kerap mendapat tindak kekerasan adalah koresponden di daerah. Pasalnya, koresponden tidak memiliki perlindungan yang kuat. Untuk itu Komnas HAM bersama organisasi wartawan sudah membahas bagaimana perlindungan yang wajib dilakukan untuk jurnalis. "Mereka (koresponden,-red) tidak punya proteksi yang kuat," pungkasnya.

Tags: