Penegakan HAM di Indonesia Memprihatinkan
Berita

Penegakan HAM di Indonesia Memprihatinkan

Banyak kasus mandek dan pelaku pelanggar HAM semakin meluas.

ADY
Bacaan 2 Menit

Selain itu, Yuniyanti melihat PJTKI yang bertugas mengirim pekerja migran seolah lepas dari tanggungjawab. Akhirnya, pekerja migran Indonesia banyak yang menjadi korban. Oleh karenanya pemerintah perlu melakukan tindakan tegas terhadap PJTKi yang lalai menjalankan kewajibannya. “Korban migran ini lebih parah dari korban perang, tapi tak tersentuh,” keluhnya.

Yuniyanti mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, mencapai 30-an kasus kekerasan setiap hari. Begitu pula dengan regulasi yang diskriminatif, dalam tiga tahun terakhir jumlahnya semakin banyak. Jika tahun 2010 jumlah regulasi diskriminatif yang tersebar di seluruh Indonesia hanya seratusan tapi sekarang mencapai lebih dari tiga ratus.

Ketua KPAI, Badriyah Fayumi, mengatakan kekerasan seksual dan pornografi terhadap anak perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak. Sebab, sudah banyak kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan pornografi anak. Misalnya, bayi perempuan berumur 9 bulan menjadi korban kekerasan seksual pamannya. Bayi malang itu diperkosa dan disodomi. Kemudian, anak berumur 7 tahun melakukan kekerasan seksual terhadap temannya yang masih berusia balita. KPAI mencatat kasus kekerasan seksual dan pornografi saat ini jumlahnya meningkat. “Maka itu, hari ini Indonesia bisa dikatakan darurat kekerasan seksual anak,” ucapnya.

Menurut Badriyah, mudahnya mengakses konten pornografi menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual dan pornografi anak. Kondisi lingkungan terdekat anak juga berpengaruh besar terhadap perlindungan anak. Parahnya, kekerasan seksual dan pornografi anak, terutama yang terjadi secara online belum memliki payung hukum yang tepat. Padahal, jumlah kasus itu banyak dilakukan secara online. Misalnya, komunikasi antara pelaku dan korban dilakukan lewat online, tapi kejahatan dilakukan secara offline. Atau komunikasi dan kejahatan itu dilakukan dengan cara online. “Sayangnya kasus itu tak tersentuh, kami belum mendengar ada penuntasannya,” ujarnya.

Badriyah melihat ada jarak antara perangkat hukum yang memadai dengan perlindungan anak. Kemudian, aparat penegak hukum di tingkat pusat dan daerah belum peka terhadap upaya perlindungan anak, baik itu penanganan kasus atau pemulian bagi korban dan pelaku. Ia pun merasa lingkungan terdekat anak saat ini dalam posisi tidak ketat melindungi anak.  Malah, Badriyah melanjutkan, korban kekerasan seksual mendapat diskriminasi dan dikeluarkan dari sekolah. Untuk mencegah hal tersebut sekaligus menjaga pemenuhan hak anak, maka kebijakan  sekolah ramah anak harus segera diterapkan. “Sehingga proses penyelenggaraan pendidikan diselaraskan antara perlindungan anak dan kurikulum pendidikan,” paparnya.

Tags: