Penegak Hukum Harus Paham Asset Recovery
Utama

Penegak Hukum Harus Paham Asset Recovery

Meski Kejaksaan hanya menggunakan ‘pistol air’, sedangkan KPK menggunakan ‘bom’, namun pengembalian kekayaan negara oleh Kejaksaan lebih banyak dibanding KPK.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
seminar ‘Peran Kejaksaan Dalam Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Asset Recovery’. Foto: SGP
seminar ‘Peran Kejaksaan Dalam Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Asset Recovery’. Foto: SGP

Upaya pemberantasan korupsi tak melulu berbicara pemidanaan. Ada juga hal penting yang tak boleh dilupakan oleh para penegak hukum. Yakni, asset recovery atau pengembalian aset (harta) kekayaan negara yang telah dikorupsi. Para penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim tentu juga harus menggunakan pendekatan asset recovery ini dalam menangani kasus korupsi.

 

Hal ini diutarakan Pakar Hukum Pidana Pencucian Uang Universitas Trisakti (Usakti) Yenti Ganarsih. Ia melihat selama ini para penegak hukum kerap alpa dalam menggunakan pendekatan ini. Apalagi, upaya pengembalian aset yang ditempatkan di luar negeri, aparat penegak hukum sering kesulitan untuk membawanya ke Indonesia.

 

“Ada beberapa kendala, tetapi yang paling krusial justru di penegak hukumnya sendiri,” ujar Yenti dalam seminar Peran Kejaksaan dalam Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Asset Recovery di Jakarta, Kamis (20/10).

 

Yenti mencontohkan peran hakim yang kurang maksimal dalam upaya pengembalian aset yang ditanam di luar negeri ini. Ia menuturkan syarat mutlak aset itu bisa dikembalikan ke Indonesia setelah adanya putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap. Karenanya, proses penyidikan hingga persidangan harus dipercepat.

 

Dalam putusan pengadilan itu, lanjut Yenti, hakim Indonesia harus secara tegas mencantumkan aset apa yang perlu dikembalikan dan berada di negara mana aset itu kini ditempatkan. Jadi, bukan sembarangan hanya menyebut pengembalian aset tapi tak disebutkan secara detail. “Harus se-detail itu dicantumkan ke dalam putusan, kalau tidak, akan sulit dikembalikan,” tuturnya.

 

Yenti mengatakan panduan ini sudah tercantum dalam suatu kerja sama internasional atau Mutual Legal Assistance (MLA). “Sayangnya, hakim Indonesia sering lupa mencantumkan hal tersebut (memasukkan secara detail aset dan tempat dimana aset itu berada ke dalam putusan,-red),” tuturnya.

 

Tak hanya hakim, jelas Yenti, polisi dan jaksa juga harus memahami proses asset recovery ini secara tepat. Ia menyarankan agar penyidikan dan penuntut umum mengedepankan upaya penyitaan di tahap penyidikan dan penuntutan. “Bila aset sudah disita sejak awal, maka begitu vonis hakim menyatakan terdakwa bersalah, maka tidak perlu lagi mencari-cari aset terdakwa,” tuturnya.

 

Meski begitu, Yenti mengacungi jempol prestasi Kejaksaan dalam mengedepankan asset recovery ini. “Saya tak setuju KPK harus dibubarkan. Tapi, hasil yang dikembalikan Kejaksaan (ke kas negara) lebih besar dari KPK. Padahal, KPK ibaratnya memakai bom, dan Kejaksaan hanya menggunakan pistol air, tapi hasilnya lebih banyak Kejaksaan,” tuturnya di hadapan para jaksa.

 

Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, pada 2010 Kejaksaan telah menyidik 2.315 perkara korupsi. Dari jumlah itu, 1.715 perkara bermuara ke penuntutan. Penyelamatan keuangan negara sebesar Rp354,5 miliar. Pada 2011 hingga bulan Agustus, ada 1.018 perkara korupsi yang disidik dan perkara yang dibawa ke penuntutan berjumlah 825 perkara. Keuangan negara yang berhasil diselamatkan sebesar Rp68,4 miliar dan AS$2,920.56.

 

“Dalam rangka untuk lebih mengoptimalkan upaya pemulihan atau pengembalian kerugian keuangan negara tersebut, Kejaksaan juga telah membentuk Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Sita Eksekusi,” jelas Darmono.

 

Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menilai pihak Kejaksaan belum terlalu maksimal dalam mengembalikan kerugian negara ini. Ia menyoroti faktor kesejahteraan para jaksa yang harus diperbaiki terlebih dahulu agar mereka maksimal bekerja. “Kalau sekarang, untuk foto kopi berkas perkara, jaksa sering bingung pakai uang siapa,” tuturnya. 

Tags: