Pendidikan Profesi Hakim Pengaruhi Kualitas Putusan
Reformasi Peradilan:

Pendidikan Profesi Hakim Pengaruhi Kualitas Putusan

Putusan dibuat berdasarkan berbagai pengetahuan yang diperoleh hakim. Pengetahuan bisa di dapat salah satunya melalui pendidikan dan pelatihan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Suasana sejumlah hakim agung menghadiri sidang pemilihan Ketua Mahkamah Agung di gedung MA, Jakarta, Selasa (14/2).
Suasana sejumlah hakim agung menghadiri sidang pemilihan Ketua Mahkamah Agung di gedung MA, Jakarta, Selasa (14/2).

Puluhan calon hakim hadir di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sabtu 20 Januari lalu. Mereka adalah bagian dari 1.607 pegawai negeri sipil calon hakim yang baru saja dinyatakan lulus seleksi. Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Alumni Fakultas memberikan pembekalan kepada sekitar 80 kandidat hakim. Beberapa tahun mendatang, mereka akan menjadi hakim penuh dengan kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus perkara.

 

“Anda adalah awal dari tonggak perbaikan lembaga peradilan kita berikutnya,” pidato Ketua Iluni Fakultas Hukum UI, Ahmad Fikri Assegaf, itu memotivasi para calon hakim. “Perjalanan Anda masih panjang,” tambahnya.

 

Mahkamah Agung bekerjasama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah meluluskan 1.607 calon hakim. Seleksi ini diselenggarakan setelah bertahun-tahun tak ada rekrutmen sehingga mengganggu proses regenerasi hakim di masa mendatang. Kelak, setelah diangkat, mereka akan menjadi bagian dari insan peradilan Indonesia. Selain hakim, ada pula panitera, panitera pengganti, juru sita, dan pegawai pendukung. Mereka dibedakan atas tenaga teknik dan tenaga non-teknis pengadilan.

 

(Baca juga: Gelar Pembekalan, Ini Pesan Bagi Calon Hakim Alumni FH UI)

 

Jumlah calon hakim yang baru direkrut pada penghujung 2017 sebenarnya masih belum mencukupi kebutuhan. Pada tahun 2016, Mahkamah Agung sudah menerbitkan payung hukum kebutuhan rekrutmen hakim itu lewat Peraturan (Perma) No. 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Serta Pengadaan Tenaga Hakim. Lewat pembicaraan dengan pemangku kepentingan lain, akhirnya direkrutlah 1.607 calon hakim tersebut. Pada tahun ini (2018), Mahkamah Agung kembali merencanakan rekrutmen seribu calon hakim.

 

Data tahun 2016 menunjukkan jumlah hakim seluruh lingkungan peradilan di Indonesia 7.989 orang. Jumlah idealnya adalah 12.847 orang, sehingga masih ada kekurangan 4.858 tenaga hakim. Kondisi yang nyaris sama bisa dilihat dari pengadaan personil panitera pengganti, juru sita dan pegawai (lihat tabel).

 

Tabel: Jumlah tenaga teknis dan nonteknis hakim di Indonesia Tahun 2016

No.

Jabatan

Kebutuhan

Bezetting

Kekurangan

1.

Hakim

12.847

7.989

4.858

2.

Panitera Pengganti

19.575

9.180

10.395

3.

Jurusita

10.020

3.990

6.030

4.

Pegawai

21.669

10.247

11.422

Jumlah

64.111

31.406

32.705

Sumber: Laporan Tahunan MA Tahun 2016

 

Hakim dan sebagian besar insan pengadilan berlatar belakang pendidikan hukum. Itu sebabnya, peranan Fakultas Hukum (FH) sangat besar mempersiapkan sumber daya yang akan bertugas di lingkungan peradilan khususnya, dan dunia penegakan hukum pada umumnya. FH mencetak lulusan yang memiliki kemampuan dan keahlian mumpuni sehingga kelak mereka menjadi aparatur peradilan dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Selain mendapatkan bekal di kampus FH, setelah menjadi hakim pun seseorang masih tetap membutuhkan pendidikan profesi secara berkelanjutan.

 

(Baca juga: 2018, MA Bakal Rekrut 1000 Calon Hakim)

 

Dekan FH Universitas Indonesia, Melda Kamil Ariadno, mengatakan tugas FH bukan hanya memberi pendidikan hukum tapi juga perkembangan pengetahuan hukum; pembekalan moral dan integritas. Selain itu, penting bagi FH untuk memperbarui terus kurikulum pendidikan hukum. Para praktisi bidang hukum juga perlu memberi pembekalan yang cukup kepada mahasiswa agar mereka mengetahui bagaimana profesi yang kelak akan digeluti setelah lulus.

 

“Salah satu tujuan FH UI saat ini memperbanyak lulusan kami untuk bekerja di sektor publik karena selama ini mereka kebanyakan masuk ke sektor swasta,” kata Melda dalam diskusi panel Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) di Jakarta, Selasa (16/1).

 

Bagi lulusan yang membutuhkan pengetahuan lebih, Melda mengatakan, FH UI menggelar pendidikan lanjutan atau pelatihan untuk cabang hukum tertentu. Ini berguna sebagai pengetahuan tambahan bagi mahasiswa ketika kelak menjalankan profesinya. Untuk moralitas dan integritas, bukan hal mudah karena mahasiswa masuk kampus sudah usia lebih dari 17 tahun. FH memberi pengetahuan tentang etika profesi, juga pembekalan lain dalam kuliah dan pelatihan seperti prinsip yang baik dalam penegakan hukum. Hal itu diperlukan untuk meminimalisir, jangan sampai ada hakim yang pengetahuannya baik tapi moralitasnya rendah.

 

Melda mengaku tidak mudah untuk menghasilkan lulusan yang mampu menjadi hakim ideal  karena pembekalannya tidak cukup hanya teori. FH perlu mempelajari bagaimana doktrin hukum diterapkan dalam putusan. Perlu juga mempelajari bagaimana melakukan interpretasi hukum sesuai perkembangan masyarakat.

 

Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan MA, Agus Subroto, mengatakan tupoksi pusdiklat teknis peradilan MA mengacu Surat Keputusan Ketua MA No. 140 Tahun 2008 mengenai peningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) peradilan di Indonesia. Peningkatan kapasitas SDM itu meliputi hakim dan tenaga teknis seperti juru sita dan panitera pengganti. Khusus untuk hakim, ada Surat Keputusan Ketua MA No. 169 Tahun 2010 tentang Penetapan dan Pelaksanaan Program Pendidikan Calon Hakim Terpadu.

 

Pusdiklat Teknis MA melatih calon hakim dan hakim. Untuk pendidikan calon hakim dilakukan selama 2 tahun 1 bulan secara bertahap. Misalnya, dalam tahap pendidikan I magang I, calon hakim diperkenalkan struktur organisasi MA dan peradilan yang ada di bawahnya. Tahap pendidikan II magang II mengarahkan calon hakim untuk memahami tugas sebagai panitera pengganti. Ini penting karena salah satu produk yang dihasilkan panitera pengganti yakni berita acara. Hakim harus mengetahui bagaimana berita acara yang baik karena itu menjadi sumber dalam membuat putusan.

 

Pendidikan III magang II memberi pengetahuan kepada calon hakim untuk menjadi asisten hakim. Menurut Agus, tujuannya agar calon hakim mampu membuat konsep putusan yang baik. Mulai dari persidangan pertama sampai terakhir membuat putusan akan dinilai. Dengan beberapa bentuk pendidikan dan pelatihan itu diharapkan calon hakim siap untuk menjalankan tugasnya sebagai hakim.

 

Ditambahkan Agung, pendidikan dan pelatihan yang dijalankan calon hakim sudah mengalami perbaikan dari masa sebelumnya saat dia menjadi calon hakim tahun 1984 yang hanya mengikuti pendidikan selama 8 bulan. Singkatnya masa pendidikan dan pelatihan saat itu membuat calon hakim tidak bisa merasakan bagaimana menjadi panitera pengganti dan asisten hakim.

 

Ketika menjadi hakim, pendidikan dan pelatihan masih terus dilakukan. Agus menjelaskan ada pendidikan hakim berkelanjutan tahap I dan II. Pada tahap I, ditujukan bagi hakim dengan masa kerja 0-5 tahun, materi yang diajarkan mengenai kode etik perilaku hakim. Kemudian bagaimana membuat putusan berkualitas dan manajemen alur perkara. Hakim dalam memeriksa perkara harus mampu membuat kalender persidangan yang terbaik sehingga keadilan yang diberikan kepada masyarakat tepat pada waktunya.

 

Hakim dengan masa kerja 6-10 tahun bisa mengikuti pendidikan tahap II. Materi yang diberikan mengenai teknis fungsional seperti pendidikan hukum terkait perkara narkotika, forensik komputer, kesetaran gender dan lainnya. Terakhir, pendidikan tentang kehumasan dan sertifikasi. Sertifikasi ini perlu karena perintah UU semisal UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengharuskan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara memiliki sertifikasi hakim anak. “Itulah tugas kami, meningkatkan kapasitas SDM dengan cara menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan baik sebelum dan selama menjadi hakim,” ujar Agus.

 

(Baca juga: Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Anak)

 

Penasihat senior program SUSTAIN EU-UNDP, Gilles Blanchi, mengatakan lembaganya sudah membantu hakim di Indonesia untuk mendapat pendidikan spesialisasi atau sertifikasi sejak 2014. Kerjasama yang telah dijalin antara lain dengan pengadilan perikanan, anak, dan TUN. Sertifikasi ini penting karena perkara yang ditangani untuk masing-masing bidang itu punya kekhususan dan rumit. Misalnya, pendidikan sertifikasi bagi hakim untuk menangani sengketa pemilu.

 

Selain hakim, pendidikan dan pelatihan menurut Gilles juga perlu diberikan kepada panitera pengganti. “Ini penting untuk mencegah korupsi di sektor peradilan karena panitera pengganti adalah pihak pertama yang ditemui pencari keadilan,” tukasnya.

 

(Baca juga: 39 Hakim Dikirim ke Arab Saudi Belajar Ekonomi Syariah)

 

Gilles melihat praktik baik di Indonesia yakni hakim agung bisa menjadi guru besar di perguruan tinggi. Bahkan hakim agung yang sudah pensiun banyak juga yang kembali ke kampus untuk mengajar. Di negaranya (Perancis), kesempatan itu sangat kecil. Praktik baik ini menurut Gilles bisa menjadi diikuti negara lain.

 

Senior Course Manager International Affair Studiecentrum Rechtspleging (SSR) Belanda, Anne Tahapary, mengatakan lembaganya melatih hakim, jaksa, dan staf administrasi. Khusus untuk hakim ada pelatihan berkelanjutan yang saat ini memiliki 1.500 jenis pelatihan yang bisa dipilih. Baik hakim dan jaksa di Belanda harus mengantongi sertifikasi untuk menangani perkara tertentu misalnya lingkungan, pailit dan lainnya. “Hakim di Belanda harus mendapat pelatihan 30 jam setiap tahun,” urainya.

 

Mengingat Belanda anggota Uni Eropa, materi pelatihan yang diberikan bukan hanya selaras dengan hukum nasional di Belanda tapi juga yang berlaku di wilayah Uni Eropa. Untuk panitera dan sekretariat peradilan, pelatihan yang diberikan bukan hanya tentang pengetahuan hukum tapi juga cara mereka bertemu dengan orang lain, termasuk memberi keterangan ke media.

 

Perlu diingat, hakim di Belanda bisa berpindah dari satu kamar ke kamar lain. Oleh karenanya penting bagi hakim mendapat pelatihan yang sesuai dengan perkara yang ditanganinya. Misalnya untuk kasus anak, pelatihan yang perlu diperoleh bukan sekedar pengetahuan hukum terkait anak tapi juga bagaimana cara menghadapi dan melakukan wawancara kepada anak.

 

Kualitas Putusan

Agus menjelaskan pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi aparatur peradilan, terutama hakim karena berhubungan dengan kualitas putusan yang dibuat hakim. Untuk menilai suatu putusan yang bagus harus dilihat dari pertimbangannya, sekuat apa argumentasi yang digunakan. Ini juga tercermin dari postulat ‘putusan adalah mahkota hakim’. Karena itu, harus ada hubungan sinergis antara pendidikan hukum dan praktik. Putusan yang berkualitas bisa menjadi bahan diskusi dan analisasi bagi FH untuk melihat perkembangan penerapan hukum.

 

Salah satu sumber hukum bagi hakim yaitu doktrin. Antara doktrin dan putusan menurut Agus saling timbal balik. Misalnya, bagaimana menerapkan pasal 1365 KUH Perdata, apakah perbuatan melawan hukum harus mengacu doktrin ratusan tahun lalu? Tentu saja tidak. Kemudian, penerapan pasal 340 KUHP, pembunuhan yang direncanakan, selalu yang menjadi pegangan dari dulu pandangan R. Soesilo dan belum ada inovasi baru lagi. Inilah pentingnya menggali perkembangan hukum.

 

Pendidikan lanjutan bagi hakim sangat penting. Tapi kalau mengandalkan program yang ada di pusdiklat teknis MA, Agus menyebut jauh panggang dari api. Program yang ada sangat terbatas jumlah materi dan anggarannya. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Stichting Studiecentrum Rechtspleging (SSR) atau sekolah Hakim dan Jaksa Belanda yang mampu membuat ribuan program pelatihan dalam setahun.

 

Perbedaan itu terjadi karena beda sistem antara pendidikan dan pelatihan di Belanda dengan Indonesia. Di Belanda pendidikan dan pelatihan bisa diberikan dalam waktu sehari atau beberapa jam, tapi di pusdiklat teknis MA untuk pendidikan teknis fungsional minimal 48 jam. Tantangan lainnya, hakim yang berada di kota besar relatif mudah mendapatkan brevet singkat tentang pasar modal dan perpajakan. Tapi bagaimana hakim yang ada di daerah terpencil? Maka terjadi kesenjangan hakim di kota besar dan kecil.

 

Minimnya perkara di daerah membuat hakim sangat mudah menghasilkan pertimbangan yang baik dalam membuat putusan karena jumlah perkaranya sedikit. Berbeda dengan hakim di kota besar yang perkaranya menumpuk seperti Jakarta. Memaparkan pengalamannya di PN Jakarta Pusat, Agus menyebut dalam sehari hakim bisa membuat 4 sampai 5 putusan. “Perlu dipikirkan bagaimana korelasi pendidikan hukum dalam kaitannya dengan meningkatkan putusan hakim. Kualitas putusan hakim dinilai dari putusannya, jangan sampai pertimbangan itu kering,” urainya.

 

Peneliti LeIP, Dian Rosita, menemukan tidak sedikit putusan hakim yang argumentasi hukumnya lemah. Apakah persoalan ini terjadi karena hakim tidak mampu membuat argumentasi hukum yang baik atau ada masalah lain? Maka penting bagi FH bukan saja menghasilkan sarjana hukum yang berkualitas dan berintegritas tapi juga menghasilkan pengetahuan.

 

Suatu teori yang bisa dikutip hakim dan profesi hukum pada umumnya menurut Dian diproduksi oleh lembaga pendidikan hukum. Oleh karenanya pendidikan hukum sangat penting dalam membentuk tradisi hukum sipil. Di negara yang menerapkan sistem hukum common law, yang paling penting hakim, tapi di negara dengan sistem civil law profesor hukum juga penting. Pentingnya teori dan doktrin sebagai acuan bagi hakim dan legislator.

 

Putusan yang berkualitas itu mengandung argumentasi hukum berkualitas dan berbasis pada teori dan doktrin hukum. Putusan berkualitas itu harus menjadi bahan ajar di lembaga pendidikan hukum. Sayangnya, FH minim mendiskusikan putusan pengadilan. Ini penting agar ada kritik terhadap putusan dan argumentasi yang dihasilkan hakim sehingga doktrin dan teori hukum bisa berkembang lebih maju.

 

Saat putusan itu menjadi bahan diskusi di lembaga pendidikan hukum Dian menyebut akan muncul artikel atau riset akademis mengenai suatu teori atau doktrin hukum yang selanjutnya menjadi referensi. Pada negara lain seperti Belanda, ada jurnal atau terbitan yang bisa menjadi referensi untuk dikutip oleh masyarakat hukum. Perkembangan itu kemudian menjadi bahan diskusi lagi di kampus. Oleh karenanya tradisi hukum di negara dengan sistem civil law sangat baik, ini menjadi tantangan di Indonesia.

 

Penting bagi FH bukan hanya memproduksi sarjana hukum yang berkualitas tapi juga apakah berhasil menciptakan teori dan doktrin hukum yang bisa diadopsi hakim dalam putusan pengadilan,” papar Dian.

 

Gilles menyebut negara dengan sistem civil law punya 3 sumber hukum yaitu peraturan, doktrin dan perkara di pengadilan atau putusan. Saat ini Indonesia baru memulai itu karena untuk mempelajari perkara di pengadilan dibutuhkan akses terhadap putusan. Sementara putusan yang ada di pengadilan Indonesia sejak puluhan tahun lalu tidak dipublikasikan. Itulah sebabnya ada putusan yang berbeda padahal kasusnya sama. Dengan mempublikasi putusan, setiap hakim bisa mengakses dan mempelajarinya sebagai elemen dalam pertimbangan putusan.

 

Melatih Calon Hakim

Selain itu Gilles melihat kebutuhan Indonesia untuk merekrut hakim dalam jumlah yang besar. Dia mencatat MA akan melatih sekitar 1.600 calon hakim. Dalam menggelar pendidikan dan pelatihan untuk ribuan hakim itu dibutuhkan peran banyak pihak diantaranya universitas.

 

Agus menjelaskan tenaga pengajar dan pendidik di pusdiklat teknis MA merupakan hakim agung dan hakim tinggi. MA juga bekerjasama dengan negara donor melalui program SUSTAIN yakni menggelar pelatihan Training of Trainer (ToT) untuk ratusan hakim tinggi. Dari kegiatan itu diperkirakan akan menghasilkan sekitar 200 tenaga pengajar tambahan. Mengingat jumlah calon hakim yang akan dilatih mencapai ribuan, pusdiklat teknis akan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di berbagai tempat.

 

Senada dengan Gilles, Anne melihat jumlah calon hakim yang akan dilatih MA sebanyak 1.600 orang merupakan jumlah yang sangat besar dan menantang. Selama ini SSR Belanda melakukan pelatihan di tempat terpencil dengan maksud agar peserta bisa fokus dan tidak pergi kemana-mana. Tapi itu membutuhkan biaya besar. Oleh karenanya pelatihan yang diselenggarakan saat ini berada di wilayah terdekat sehingga bisa memangkas biaya dan waktu.

 

Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan SSR Belanda menurut Anne bukan hanya memberikan materi dari ruang kelas tapi juga secara daring. “Bahkan sekarang kami menggunakan e-Learning, hakim bisa berlatih di mana saja dan tidak perlu datang ke tempat pelatihan. Ini sangat menghemat biaya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait