Pendidikan Gratis Lebih Sekedar Komoditas Politik
Berita

Pendidikan Gratis Lebih Sekedar Komoditas Politik

Korupsi terus menjadi ancaman jika capres mendatang tak mampu melihat akar permasalahan soal kebocoran anggaran. Pendidikan gratis tak akan pernah terealisasi meski didukung anggaran besar.

ASh
Bacaan 2 Menit
Pendidikan Gratis Lebih Sekedar Komoditas Politik
Hukumonline

 

Akibatnya, komponen pendidikan gratis tidak jelas. Selain itu, tidak tersedia cost unit semua daerah sebagai acuan, dan tak ada ketegasan instruksi pendidikan gratis untuk semua daerah. Daerah seringkali ragu-ragu ketika akan membuat Perda pendidikan gratis karena komitmen pemerintah pusat pada saat itu belum jelas. Komitmen pemerintah mulai jelas pada akhir Desember 2008 ketika lahirnya UU Badan Hukum Pendidikan yang menyatakan wajib belajar akan dibiayai oleh pemerintah atau pemda, ujarnya. Namun belum pada tahap pembagian berapa yang akan di-cover Pemerintah pusat dan berapa yang akan ditangani Pemda. Seharusnya keduanya harus menentukan semua cost unit yang terkait penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan gratis yang ditanggung pemerintah. Ini yang belum muncul hingga sekarang, jelasnya.                      

 

Soal anggaran pun, kata Chitra, tak konsisten dan efektif dalam mendukung kebijakan pendidikan gratis ini. Meski dalam 5 tahun terakhir profil anggaran pendidikan tak banyak berubah. Kenyataannya realisasi anggaran pendidikan ke daerah masih minim. Anggaran birokrasi sangat besar sekitar 30 persen, sementara anggaran operasional yang sampai ke sekolah sangat kecil termasuk anggaran Biaya Operasional Sekolah (BOS) kurang dari 10 persen. Sedangkan anggaran investasi di tingkat kabupaten/kota kurang dari 1 persen, jadi daerah memberikan anggaran pemeliharaan sekolah kurang dari 1 persen, ujarnya.                        

 

Soal ketentuan mana yang didanai pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun, kata Chitra, juga hingga kini tak pernah tuntas. Ini bisa dilihat di UU Sisdiknas dan PP Pembiayaan Pendidikan, dan aturan-aturan di bawahnya yang belum mengatur hal itu. Akibatnya, pemerintah pusat lebih bersifat mengimbau pemerintah daerah (pemda) untuk mendukung pembiayaan pendidikan gratis ini, tetapi pemerintah pusat tak memiliki otoritas lebih kepada pemerintah daerah, jelasnya.

 

Soal kebocoran anggaran juga, sambung Chitra, hal yang mengkhawatirkan untuk dicermati ketika anggaran dikucurkan ke sekolah-sekolah. Hasil penelitian Pattiro bekerja sama dengan Brocking Institution Amerika menunjukan terjadi tujuh pola kebocoran dalam skema anggaran belanja pendidikan, yakni Dana Alokasi Khusus (DAK), dekonsentrasi, block grant, rehab APBD, BOS, BOS buku, BOS APBD.

 

Kami menelusuri 137 proyek, kebocoran yang terbesar adalah pengurangan hasil/kualitas sebesar 51 persen. Transparansi distribusi anggaran juga rendah, seperti DAK di tingkat kabupaten dasar pembagiannya tak jelas. Akibatnya, menimbulkan persaingan antarsekolah, sehingga dana DAK dan dekosentrasi rentan kolusi. Jadi penggunaan anggaran yang tak efisien dan banyak kebocoran membuat pendidikan gratis sulit tercapai meski anggaran terus meningkat. Itu catatan kita atas lima tahun pemerintahan SBY, jelasnya.                               

 

Dari hal-hal tersebut ia menilai pendidikan gratis ini lebih hanya sekedar komoditas politik ketimbang sebagai kebijakan nasional yang konsisten. Melihat kondisi itu kami pesimis bahwa pendidikan gratis bisa dicapai, tegasnya.                              

 

Bagaimamapun keadaannya, Chitra tetap berharap kepada calon presiden (capres) mendatang agar memiliki komitmen yang tinggi untuk keberlajutan kebijakan gratis ini. Sebab, dalam era otonomi daerah seorang pemimpin negara tak hanya sekedar mengimbau kepala daerah untuk mendukung pendidikan gratis ini. Sebenarnya bagaimana komitmen mereka tentang program ini dan strategi anggaran untuk mencapai program itu secara menyeluruh serta strategi memperbaiki soal kebocoran anggaran pendidikan, ini yang membuat kita ke depan punya tanggung jawab untuk me-monitor capres-capres mendatang, ujarnya.

 

Untuk soal strategi anggaran pendidikan gratis, Chitra mengusulkan agar capres mendatang mengurangi biaya anggaran birokrasi, meningkatkan anggaran untuk sekolah baik operasional maupun investasi, menegaskan pembagian pembiayaan pusat dan daerah, dan memperbesar anggaran desentralisasi, khususnya belanja modal. Sementara strategi untuk memperbaiki kebocoran, Chitra mengusulkan agar capres memperbaikinya bukan hanya kasus per kasus, tetapi secara sistemik.

 

Faktor korupsi

Di tempat yang sama, peneliti ICW Febri Hendri mengatakan bahwa meski ada kenaikan anggaran pendidikan bukan berarti layanan pendidikan menjadi lebih baik. Salah satu faktor yang dianggap dominan adalah faktor korupsi terkait kebocoran anggaran. Berdasarkan hasil pantauan ICW di beberapa daerah ada sekitar 36 kasus korupsi.

 

Ada sekitar 63 tersangka mulai dari Dirjen di Depdiknas hingga kepala sekolah, pelaku paling banyak adalah kepala dinas pendidikan berjumlah 14 orang, anggota DPRD, bupati, camat masing-masing 1 orang. Kalau dilihat dari pelaku ini berkaitan dengan kewenangan atas kebijakan pendidikan, terutama soal anggaran pendidikan, jelasnya.

 

Jika dari sisi modus, kata Febri, sebagian besar dilakukan dengan cara menggelapkan anggaran pendidikan (36,1 persen), mark up pengadaan barang dan jasa (36,1 persen), dan manipulasi anggaran (25,0 persen). Sementara terjadinya korupsi banyak terjadi di tingkat kabupaten  sebesar 55,6 persen, diikuti tingkat kotamadya sebesar 19,4 persen, provinsi 19,4 persen, dan nasional 5,6 persen. Hal ini bisa dipahami karena kabupaten memiliki lebih banyak jumlah dinas pendidikan dibanding dinas kotamadya/provinsi, jelasnya.

 

Sementara dari sisi kerugian negara, lanjut Febri, paling tingkat kerugian terbesar terjadi di tingkat provinsi dengan kerugian sebesar Rp93,7 miliar. Diikuti kerugian negara tingkat kabupaten sebesar Rp30,7 miliar, tingkat kotamadya sebesar Rp3,5 miliar, dan tingkat Depdiknas sebesar Rp6,3 miliar, sehingga total kerugian negara sebesar 134 miliar. Data tersebut berdasarkan hasil pantauan media dan data teman-teman jaringan ICW di daerah, dalihnya. 

 

Hingga kini, ujar Febri, masih terjadi potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh birokrasi pendidikan bersama mitra kerjanya terutama DPR dan lain-lain. Ini yang perlu dicermati pada pilres mendatang. Meski anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi kalau struktur, kebijakan, dan komitmennya belum dirubah, maka korupsi pendidikan masih menjadi ancaman potensial yang akan berpengaruh terhadap pencapaian target pendidikan termasuk pendidikan gratis. Meski dana BOS dinaikan dari tahun 2005 hingga 2008, kami masih menemukan pungutan-pungutan di sekolah. Penyebabnya, jika di tingkat sekolah kewenangan kepala sekolah dalam manajeman keuangan yang terlalu tinggi, sementara di tingkat kabupaten pengelolaan keuangan di Dinas Pendidikan dan DPRD juga yang menjadi penyebab bocornya anggaran pendidikan, terangnya.                    

 

Melihat kondisi itu, lanjut Febri, kalau implementasi anggaran tak melihat akar permasalahan ini, maka korupsi masih akan menjadi mengancam anggaran pendidikan, sehingga pendidikan gratis tak akan pernah terealisasi meski didukung anggaran yang besar. Jadi kami melihat korupsi merupakan faktor dominan yang menyebabkan sekolah gratis tak akan direalisir. Ini seharusnya menjadi catatan bagi capres dan cawapres 2009 mendatang, pintanya.   

Program pendidikan gratis yang dicanangkan menjelang akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuai kritik. Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan itu lebih bersifat komoditas politik ketimbang menjadi sebuah kebijakan nasional yang konsisten jelang pemilihan presiden (pilres) Juli 2009 mendatang. Kedua lembaga pemerhati kebijakan publik ini menyampaikan penilaian mereka pada Senin (04/5).

 

Pemerinah melalui Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) telah mencanangkan program pendidikan gratis di sejumlah daerah sebagai pilot project. Diantaranya di provinsi Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta. Program pendidikan gratis ini diperuntukkan bagi siswa-siswi sekolah dasar dan sekolah menengah pertama untuk tahun ajaran 2008/2009, khususnya bagi keluarga kurang mampu. Daerah percontohan menuangkan kebijakan pendidikan gratis ini dalam peraturan daerah (Perda) masing-masing. 

 

Senior Program Manager Pattiro Chitra Septyandrica mengatakan meski kebijakan pendidikan gratis merupakan kebijakan yang bagus, namun menjadi pertanyaan mengapa kebijakan ini muncul di akhir masa kepemimpinan SBY. Baru akhir tahun 2008 baru kita dengar program ini ramai dicanangkan baik di level nasional maupun lokal (pilkada), ujar Chitra.

 

Menurutnya pendidikan gratis belum menjadi kebijakan nasional yang konsisten. Belum ada kebijakan yang komprehensif dan konsep dan road map (rencana pengembangan, red) yang jelas. Pendidikan gratis seperti apa, murah, terjangkau, apa saja komponen-komponen yang digratiskan, berapa biaya yang dianggarkan untuk per siswa, dan juga tak ada jaminan dari pemerintah daerah untuk memastikan semua daerah kota/kabupaten bisa mengenyam pendidikan gratis ini, jelasnya. 

Tags: