Pendeta ‘Gugat’ Aturan Perceraian dalam UU Perkawinan
Utama

Pendeta ‘Gugat’ Aturan Perceraian dalam UU Perkawinan

Pemohon diminta melihat kembali pasal tersebut dan PP Nomor 9 Tahun 1975 terkait tata cara pelaksanaan perceraian dan mengkaitkan dengan kerugian yang dialami Pemohon.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Seorang Pendeta pembantu di Gereja Bethel Indonesia (GBI), Rolas Jakson Tampubolon melayangkan pengujian aturan perceraian dalam Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahin 1974 Perkawinan. Motivasi Rolas memohon pengujian pasal itu lantaran merasa risau banyak jemaat yang mengalami persoalan kehidupan rumah tangga yang berujung pada perceraian.

 

“Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945,” ujar Rolas Jakson Tampubolon dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Kamis (12/9/2019). Sidang ini dipimpin Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams beranggotakan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.      

 

Selengkapnya, Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

 

Rolas Jakson Tampubolon mendapati banyak jemaat yang mengalami masalah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Menurut Rolas, ketika mengalami keretakan hubungan rumah tangga, jemaat tidak terlebih dahulu melakukan konseling kepada pihak gereja, tetapi langsung mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.

 

Dalam pandangan Rolas, sebaiknya penyelesaian dilakukan secara internal terlebih dahulu di dalam gereja ketimbang langsung ke pengadilan. Sebab, perkawinan bagi kalangan umat Kristen dalam hukum agama adalah sekali seumur hidup. Bagi Pemohon, pasal tersebut tidak mempersukar terjadinya perceraian (malah mempermudah perceraian), sehingga hal ini merugikan hak konstitusional warga negara. 

 

“Pasal ini masih lemah dalam dimensi hukum agama yang dianut Pemohon, dimana Pemohon wajib meluhurkan ajaran Tuhan dalam Alkitab, yang salah satu ajaran Alkitab adalah melarang perceraian,” kata Rolas.

 

Karena itu, Rolas pun meminta kepada Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah suami atau istri memperoleh keterangan bimbingan perkawinan dari tokoh agama yang hukum agamanya melarang perceraian,” pintanya. 

 

Aturan Perceraian

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai pasal itu bersifat universal. Menurut Suhartoyo, perubahan pada pasal tersebut berdampak pada konstruksi pasal itu sendiri. Sebab, dalam Pasal 39 ayat (3) menyatakan perceraian di pengadilan ada syarat tentang tata cara pelaksanaan pendamaian kedua belah pihak.

 

“Jadi sebenarnya siapapun yang bercerai akan terkena syarat-syarat yang mengatur tata caranya. Saya di sini ingin berilustrasi, apa kira-kira konsep ini tepat diajukan? Apabila melihat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 di dalamnya memuat secara teknis aturan pelaksanaan perceraian yang dimaksud,” terang Suhartoyo. 

 

Sedangkan Hakim Konstitusi Enny mengingatkan Pemohon agar menguraikan secara lebih terperinci mengenai kedudukan hukum (legal standing) yang dikaitkan pula dengan kerugian hak konstitusional Pemohon selaku pemuka agama yang berperan mewujudkan kehidupan selaras dan seimbang dalam kehidupan beragama.

 

Enny menyarankan Pemohon agar membaca kembali dengan seksama pasal tersebut dan mengaitkan dengan kerugian yang dialami Pemohon. Enny juga menuturkan, perceraian sebenarnya suatu hal yang tidak mudah karena ada beberapa hal yang perlu dilewati sebelum menuju pada perceraian. 

 

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams juga meminta Pemohon untuk mendalami juga PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam PP tersebut memuat secara teknis aturan pelaksanaan perceraian. “Sehingga Pemohon dapat melihat kesesuaian masalah konseling di gereja, menjadi hal penting bagi jemaat sebelum memutuskan perceraian,” kata Wahiduddin.

Tags:

Berita Terkait