Pendekatan Kompromistis dalam Pengakuan Anak Luar Kawin
Kolom

Pendekatan Kompromistis dalam Pengakuan Anak Luar Kawin

Perlindungan hukum terhadap status anak dari perkawinan yang tidak tercatat, dan perkawinannya tidak dapat disahkan oleh pengadilan, tetap dapat dilakukan dengan pengakuan anak.

Bacaan 6 Menit

Hadis tersebut dilatarbelakangi oleh perselisihan antara seorang suami dengan seorang laki-laki yang berhubungan dengan istri dari suami tersebut tentang status anak yang dilahirkan oleh istri dari suami tersebut, kemudian Nabi Muhammad saw memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak dari suami ibu yang melahirkan anak tersebut, meski anak tersebut memiliki kemiripan dengan laki-laki tersebut.

Sementara beberapa ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Muhammad bin Sirin, Atha, Ibn Taimiyya, and Ibn Qoyyim, berpendapat bahwa apabila laki-laki yang berhubungan dengan ibu dari anak luar kawin mengakui anak tersebut, nasab anak tersebut dapat dihubungkan dengan ayah biologisnya. Mereka berpendapat bahwa hadis di atas terkait dengan perselisihan yang terjadi antara seorang suami dengan seorang laki-laki yang berzina tentang status anak dari seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan.

Jika dicermati, maka norma hukum yang dikandung hadis di atas selaras dengan larangan pengakuan anak luar kawin hasil hubungan dengan perempuan atau laki-laki yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 283 KUHPerdata.

Dalam hukum adat juga terdapat pengakuan anak luar kawin. Seorang ayah dari anak yang lahir di luar perkawinan dapat memiliki hubungan hukum dengan anak biologisnya tersebut melalui lembaga pengakuan, di Minahasa dikenal dengan lilikur yang berupa hadiah yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada anak biologisnya, sementara di Ambon, lembaga pengakuan tersebut dikenal dengan istilah di-erken.

Namun, menurut sebagian besar hukum adat, anak luar kawin hasil hubungan dengan perempuan yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain sebagai suaminya, anak tersebut tetap menjadi anak sah dari suami perempuan yang berzina tersebut, kecuali jika menurut alasan-alasan tertentu suami dibenarkan oleh hukum adat untuk menolak mengakui anak yang bersangkutan, karena sang istri melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Ketentuan hukum adat ini juga selaras dengan hadis “al-waladu lil-al-firasy” di atas.

Dari pembahasan tentang pengakuan anak luar kawin menurut keragaman hukum yang berlaku di Indonesia di atas, dapat ditarik unsur-unsur yang sama dari norma hukum yang beragam tersebut, yaitu terdapat lembaga pengakuan anak luar kawin untuk memberikan perlindungan hukum terhadap status anak luar kawin, namun pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap anak hasil hubungan orang tua yang salah satu atau keduanya masih terikat perkawinan dengan orang lain. Ketentuan ini menjadi sebuah konsensus hukum yang kemudian dijadikan dasar untuk merumuskan ketentuan undang-undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 49 ayat 2 berbunyi “Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait