Pencabutan Subsidi BBM Diarahkan Perluas Lapangan Kerja
Berita

Pencabutan Subsidi BBM Diarahkan Perluas Lapangan Kerja

Mendorong pertumbuhan wirausaha dan padat karya.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pencabutan Subsidi BBM Diarahkan Perluas Lapangan Kerja
Hukumonline

Menakertrans Muhaimin Iskandar berjanji mengupayakan rencana penarikan subsidi BBM dialihkan untuk memperluas lapangan pekerjaan. Menurutnya, langkah itu sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Selaras dengan itu Muhaimin mengatakan pembukaan lapangan kerja itu akan diutamakan untuk sektor padat karya dan di luar hubungan kerja. Ia menyebut padat karya akan ditingkatkan melalui pendekatan berbasis sumber daya lokal. Misalnya, ketika membangun infrastruktur di pedesaan, menggunakan tenaga kerja di daerah setempat.

Berdasarkan data BPS sampai Februari 2013, Muhaimin mencatat jumlah pengangguran saat ini mencapai 7,17 juta orang dari angkatan kerja sebanyak 121,2 juta orang. Soal keefektifan program padat karya, Muhaimin mengatakan cukup efektif menggerakkan masyarakat di perkotaan dan pedesaan. Pasalnya, program itu dirasa dikerjakan langsung oleh masyarakat demi kepentingan mereka sendiri. “Penggunaan subsidi BBM bagi pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh masyarakat secara program padat karya akan lebih bermanfaat bagi masyarakat,” katanya dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Minggu (16/6).

Selain itu Muhaimin melihat penarikan subsidi BBM yang direncanakan pemerintah dapat digunakan untuk mendukung program wirausaha. Dengan menaikan harga BBM dan menjalankan program wirausaha serta padat karya, Muhaimin berpendapat hal tersebut akan menyelamatkan APBN dan pertumbuhan perekonomian. Dengan dialihkannya anggaran itu, Muhaimin yakin subsidi akan dinikmati bukan hanya masyarakat golongan menengah ke atas, tapi rakyat miskin. Pasalnya, Muhaimin melihat selama ini pemerintah mengucurkan subsidi BBM, mayoritas dinikmati masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor.

Terpisah, anggota Komisi IX DPR fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan hari ini DPR melakukan paripurna terkait kenaikan harga BBM. Ia memperkirakan pembahasannya akan berjalan alot dan diwarnai demonstrasi penolakan kenaikan BBM. Dari pertemuan pemerintah dan Banggar DPR akhir pekan lalu, terdapat 6 dari 9 fraksi secara penuh setuju kenaikan tersebut dan dituangkan dalam RAPBNP 2013. Sedangkan tiga fraksi lainnya, termasuk PDIP memilih opsi setuju dengan beberapa catatan. Selaras dengan itu, Rieke mengaku melayangkan surat terbuka kepada seluruh koleganya di DPR agar mengutamakan kepentingan rakyat.

Menurut Rieke, sudah selayaknya anggota dewan memperjuangkan kepentingan rakyat. Ketika masyarakat menolak kenaikan harga BBM, maka anggota DPR sebagai wakil rakyat harus menyuarakan hal tersebut. Apalagi, Rieke menilai kenaikan harga BBM dan penyaluran program bantuan seperti BLSM, tidak akan membuat rakyat sejahtera sebagaimana yang diharapkan. Sekaratnya APBN menurut Rieke bukan terjadi karena subsidi BBM, tapi lemahnya pemerintah mengelola APBN sebagaimana peraturan yang ada. Bahkan, ada beberapa anggaran yang cukup besar dikeluarkan pemerintah bagi Rieke tanpa sepengetahuan DPR.

“DPR tidak tahu sekitar Rp 38 triliun uang rakyat dibayarkan untuk keanggotaan Indonesia di IMF,” tegas Rieke.

Rieke melihat, pemerintah dapat menerbitkan kebijakan lain untuk mencegah agar subsidi BBM tidak ditarik. Misalnya, mencari sumber pendanaan lain, pengetatan anggaran di tiap kementerian dan menggunakan sisa anggaran lebih (SAL). Jika harga BBM tetap dinaikan, akan berdampak pada naiknya ongkos transportasi, biaya produksi dan harga kebutuhan pokok.

Menanggapi hal itu Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, subsidi adalah kebijakan yang wajib diterbitkan oleh pemerintah untuk melindungi rakyat miskin. Parahnya, selama ini APBN gagal untuk mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan secara luas.

Pasalnya, Timboel mencatat setiap program bantuan sosial yang diterbitkan pemerintah kerap tidak tepat sasaran. Misalnya, BPK mempertanyakan pelaksanaan dan pertanggungjawaban pemerintah atas dana bantuan sosial dari APBN 2012 sebesar Rp31,66 triliun. “Itu merupakan fakta bahwa pemerintah gagal mengalokasikan dana APBN untuk rakyat miskin dengan tepat sasaran,” urainya kepada hukumonline lewat surat elektronik, Senin (17/6).

Begitu pula dengan program BLSM yang akan diberikan pemerintah sebesar RP150 ribu setiap bulan untuk keluarga miskin selama empat bulan, Timboel menghitung tidak akan mampu mendukung daya beli masyarakat miskin. Misalnya, RP150 ribu dibagi 30 hari (satu bulan), maka satu keluarga miskin hanya mendapat bantuan sebesar Rp5 ribu. Padahal, dalam satu keluarga rata-rata terdiri dari 4-5 orang. Bantuan yang terbatas itu menurut Timboel tidak manusiawi karena rakyat miskin akan sendirian menghadapi tingginya inflasi setelah empat bulan bantuan tersebut diberikan.

Soal program wirausaha dan membuka lapangan kerja sebagimana dilontarkan Menakertrans, Timboel menyebut belanja modal dalam APBN tiap tahun tidak memberi dampak signifikan terhadap terbukanya lapangan kerja. Untuk APBN 2013, Timboel melihat anggarannya sebesar RP213 triliun, jumlah itu naik 20 persen ketimbang tahun lalu. Namun, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, Timboel mencatat hanya 150-200 ribu lapangan pekerjaan baru yang terbuka.

Padahal, Timboel melanjutkan, kebutuhan angkatan kerja untuk mendapat lapangan pekerjaan lebih dari itu. “Bagaimana Menakertrans bisa menjamin bahwa pengalihan subsidi BBM dapat mengurangi pengangguran dan memperluas kesempatan kerja? Dana Belanja Modal yang sudah ada saja tidak mampu mengurangi pengangguran,” tukasnya.

Timboel mengatakan dalih pemerintah menaikan harga BBM untuk menyelamatkan APBN dan pertumbuhan perekonomian sangat tidak tepat. Sebagaimana Rieke, Timboel melihat pemerintah dapat mencari solusi lain untuk mencegah penarikan subsidi BBM. Misalnya, pemerintah dapat menghapus biaya rekap perbankan yang setiap tahun berkisar RP60 triliun. Menurutnya biaya rekap itu memboroskan dan memanjakan pejabat bank. Padahal, Timboel melihat bisnis perbankan saat ini meraup keuntungan cukup besar sehingga tidak layak disubsidi.

Dari sisi penerimaan, Timboel menilai pemerintah bisa meningkatkan rasio pajak menjadi 15 persen seperti negara lain di Asia Tenggara. Tapi, pemerintah dan DPR dianggap selalu puas dengan rasio pajak sebesar 12 persen. Rendahnya jumlah tersebut menurut Timboel menyebabkan potensi penerimaan pajak berkurang dan APBN selalu berorientasi untuk membuka pinjaman baru.

Sementara dampak kenaikan harga BBM terhadap pertumbuhan ekonomi menurut Timboel akan menyebabkan daya beli masyarakat turun. Padahal, konsumsi masyarakat selama ini menyumbang 53 persen pertumbuhan ekonomi. “Kalau daya beli turun yang menyebabkan konsumsi turun maka pertumbuhan ekonomi kita akan turun juga,” pungkasnya.

Tags: