Pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020 Sangat Disesalkan
Berita

Pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020 Sangat Disesalkan

Permohonan perlindungan korban kekerasan seksual ke LPSK jumlahnya semakin meningkat. RUU PKS diharapkan mampu memudahkan aparat penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kekerasan seksual. BAS
Ilustrasi kekerasan seksual. BAS

Keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang menyetujui usulan Komisi VIII untuk mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020 menuai protes tak hanya dari kalangan organisasi masyarakat sipil, tapi juga lembaga negara. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania DF Iskandar, mengatakan lembaganya menyesalkan pencabutan RUU PKS dari prolegnas 2020. LPSK ikut terlibat dalam tim kecil pemerintah untuk membahas RUU PKS.

Livia menjelaskan LPSK mendukung RUU PKS karena sejalan dengan meningkatnya jumlah permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke LPSK. Tercatat tahun 2016 LPSK menerima 66 permohonan, tahun 2017 naik menjadi 284, begitu pula tahun 2018 sebanyak 284. Tahun 2019 naik menjadi 373 permohonan.

Jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual per 15 Juni 2020 mencapai 501 korban. Menurut Livia jumlah permohonan perlindungan dan terlindung LPSK belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Dia yakin jumlah riil korban kekerasan seksual lebih besar dari yang tercatat LPSK. Salah satu sebabnya, tidak semua korban mau melanjutkan perkara yang menimpanya ke ranah pidana.

“Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban, mensyaratkan, permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” kata Livia dalam keterangan pers, Jumat (3/7).

Livia berpendapat RUU PKS ini penting karena diharapkan mampu membantu dan memudahkan aparat penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual. Perlu regulasi khusus seperti RUU PKS untuk menangani kekerasan seksual karena jenis dan modusnya beragam. Banyak kasus kekerasan seksual mandek karena kurang alat bukti dan norma pasal dalam KUHP tidak mampu menjangkau beragam bentuk kekerasan seksual yang berkembang. Hal ini berdampak pada cara pandang aparat dalam melakukan proses penegakan hukum.

“Misalnya pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan, padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya” imbuh Livia. (Baca: Keluarkan RUU PKS, DPR Dinilai Tak Peka Terhadap Korban Kekerasan Seksual)

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerak Perempuan, antara lain AJI, Asia Justice and Rights (AJAR), BEM UI, INFID, KPBI, FBLP, KASBI, Perempuan Mahardika, dan Solidaritas Perempuan menolak pencabutan RUU PKS dari prolegnas dan mendesak DPR serta pemerintah melanjutkan pembahasan dan segera mengesahkannya. Sekjen FBLP, Dian Septi, mengatakan RUU PKS ini merupakan upaya hukum yang dilakukan untuk memulihkan dan melindungi korban kekerasan seksual. Sekaligus memastikan agar korban tidak mendapat kekerasan berulang karena stigma dan sistem hukum yang belum berpihak kepada korban.

Melansir data Komnas Perempuan Dian menyebut selama tahun 2019 terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual sejak tahun 2007 naik sampai 792 persen. Pandemi Covid-19 di mana karantina mandiri banyak dilakukan berbagai daerah ternyata meningkatkan jumlah kekerasan seksual di ranah domestik. LBH Apik mencatat ada 30 laporan kasus per bulan sebelum pandemi, dan meningkat jadi 90 laporan setiap bulan sejak Maret-Juni 2020.

Mengacu data LBH Apik, Dian menyebut terjadi peningkatan laporan kekerasan seksual sebesar 300 persen. Alih-alih segera membahas dan mengesahkan RUU PKS, DPR malah menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan mencabut RUU PKS dari prolegnas 2020.

“Ini ironis, berbeda dengan pembahasan perubahan UU Pertambangan, Mineral dan Batubara yang di bahas dan disahkan pada saat pandemi belum tuntas. Begitu juga RUU Cipta Kerja, pembahasannya terus berlanjut kendati pandemi masih terjadi,” katanya ketika dikonfirmasi, Sabtu (4/7).

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyesalkan RUU PKS dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. "Kami sangat menyesalkan dikeluarkannya RUU PKS dari daftar Prioritas Prolegnas 2020," ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga melalui pesan singkat yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (2/7).

Sandrayati menyebut penundaan pembahasan RUU PKS merupakan bentuk pembiaran atas terjadinya pelanggaran HAM berupa tindakan kekerasan. Menurut dia, RUU PKS sangat dibutuhkan untuk melindungi HAM dari tindakan kekerasan dan merendahkan martabat kemanusiaan yang hingga saat ini belum diatur dalam undang-undang yang ada.

Hal yang sama diutarakan Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu. Dia mengatakan ada kekosongan hukum tentang peradilan yang lebih melindungi perempuan dari kekerasan seksual.

"Kita tidak ada peraturan peradilan yang lebih melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Karena itu kami sangat mendukung Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual," kata Pribudiarta.

Pribudiarta mengatakan kekerasan seksual terhadap perempuan kerap kali memiliki sifat-sifat khusus, seperti korban yang tidak terbuka sehingga lebih memilih menyembunyikan kasus yang menimpanya atau pelakunya yang merupakan orang dekat korban sendiri.

Karena sifat-sifat yang khusus tersebut, kerap kali polisi kesulitan untuk melanjutkan proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual bila hanya mengacu pada delik pidana umum. Padahal, kekerasan seksual terus mengancam perempuan dan korban terus bertambah banyak.

"Aparat hukum perlu aturan dan sistem peradilan yang bisa mempermudah. Jadi bukan peradilan umum," tuturnya.

Tentang keputusan DPR untuk menunda sementara pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Pribudiarta mengatakan pada dasarnya rancangan undang-undang itu adalah inisiatif DPR, bukan pemerintah.

"Kalau mau mendorong, mungkin bisa menjadi inisiatif pemerintah. Bisa jadi judulnya akan berubah," katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait