Penataan Lembaga Negara Independen di Mata Zainal Arifin Mochtar
Terbaru

Penataan Lembaga Negara Independen di Mata Zainal Arifin Mochtar

Menurut Saldi, apabila dibaca utuh tebaran pemikiran dalam buku ini, Zainal tidak hanya sedang membahas bagaimana melakukan penataan terhadap lembaga/komisi negara independen, tetapi juga sesungguhnya sedang menawarkan bagaimana seharusnya mulai menata kembali sistem bernegara.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Lembaga Negara Independen bukan barang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang mulanya diinjeksi tanpa takaran yang benar bagaimana model dan implikasinya, serta lahir secara pragmatis. Kemudian, lembaga negara independen yang lahir harus mengalami proses panjang tatkala sistem bernegara juga mengalami perubahan dengan proses alamiah.

Hal tersebut terurai dalam buku berjudul Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, yang ditulis Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. Belum lama ini, buku resmi diluncurkan melalui acara bedah buku secara daring pada Senin 3 Mei 2021 lalu.

Buku ini ditulis dengan asumsi awal negara harus diingatkan soal kenyataan baru lahirnya lembaga negara independen ini dan letak posisi sesungguhnya penempatan lembaga negara independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Membangun lembaga negara independen terdapat alasan dan implikasi yang seharusnya dipikirkan secara layak karena memang negara tidak dibangun dalam semalam.

Gejala trial and error bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam upaya membangun sistem ketatanegaraan yang baru dan ada beberapa hal gagal dan harus diperbaiki. Buku ini merupakan hasil penelitian pasca amandemen UUD 1945 yang kemudian banyak melahirkan lembaga negara termasuk lembaga negara independen.

“Dalam pembentukan lembaga negara independen ada beberapa problem, salah satunya adalah blue print. Seharusnya, dalam sebuah lembaga negara harus membuat blue print. Namun dalam riset saya tahun 1999, 2000, 2001 hanya membuat lembaga negara, tidak ada blue print-nya,” kata Zainal Arifin Mochtar. (Baca Juga: Saldi Isra Bicara Desain ‘Lembaga Negara’ dalam Konstitusi)

Lalu, adanya perlakuan yang berbeda-beda dalam pembentukan lembaga negara independen. Misalnya lembaga Komnas HAM, yang dasar pembentukannya dalam lingkup regulasi eksekutif yakni Peraturan Pemerintah. “Karena tanpa blue print terjadi pengulangan, misalnya, disusul lahirnya Komnas Anak, Komnas Perempuan. Pertanyaanya, mengapa tidak membuat satu lembaga HAM saja?”

Dia melihat lembaga negara independen lahir di tahun 90-an mengikuti gelombang proses demokratisasi. Misalnya, di Amerika, lembaga negara independen lahir dalam konsep kritik dari (buruknya, red) pelayanan publik. Sedangkan di Indonesia, lembaga negara independen lahir pada 1999 berdasarkan kritik dari otorianisme dan pelanggaran HAM. Jadi, lembaga negara independen di Amerika lahirnya kebanyakan berbasis pelayanan publik. Sedangkan di Indonesia lembaga negara independen lahir dari proses demokrasi dan perkembangan hukum.

“Buku ini sebagai pelecut dan pengingat, mengambil porsi pengantar dalam pemikiran tentang lembaga negara independen. Buku ini melecut saya untuk masuk lebih dalam soal lembaga negara independen dan melecut para intelektual dan pemikir konstitusi di republik ini mencoba memasuki diskursus yang sama,” harapnya.  

Catatan Saldi

Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra dalam kata pengantar buku ini, memberi pemetaan hampir dari segala sisi, silang sengkarut komisi negara. Pertama, buku ini menguraikan secara mendalam fenomena munculnya komisi negara di tengah transisi politik Indonesia dari rezim otoriter menuju rezim demokrasi. Kehadiran komisi negara sebagai bagian dari percepatan proses demokratisasi.

Dalam ihwal basis argumentasi ini, kata Saldi, Zainal menganggap selama kekuasaan negara masih menumpuk pada lembaga-lembaga negara konvensional seperti dalam kategorisasi John Locke dan Baron de Montesque, penumpukan kekuasaan akan mempersulit pergerakan roda demokratisasi. Dalam konteks ini, penulis tengah menjelaskan bagaimana postulat Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely bisa sedikit dipecahkan dengan keniscayaan adanya komisi-komisi negara.

Kedua, menguraikan secara komprehensif implikasi tambahan kata “independen” setelah komisi negara atau lembaga negara. Dari aspek hukum tata negara dengan mengutip pendapat Asimow dalam Administrative Law (2002), penambahan kata “independen” tidak hanya sebatas menegaskan organ negara yang berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tidak juga sebatas dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukannya.

Dengan mengutip sejumlah pendapat ahli, Zainal mendefinisikan sebuah lembaga dikatakan independen apabila (1) pengisian rekrutmen pimpinan/anggota lembaga tak dilakukan oleh satu lembaga negara saja; (2) pemberhentian anggota lembaga hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam UU pembentukan lembaga yang bersangkutan; (3) presiden dibatasi tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian pimpinan lembaga; dan (4) pimpinan bersifat kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu, dan masa jabatan pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian.

Ketiga, terkait dengan unsur yang harus dipenuhi untuk sebuah lembaga/komisi dikatakan independen, buku ini juga fokus menguraikan soal proses seleksi komisioner atau pimpinan lembaga negara independen/komisi negara independen. Banyak dipahami masih terdapat perbedaan proses seleksi lembaga negara atau komisi negara independen. Misalnya, meskipun penentuan anggota Komisi Yudisial (KY) dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama berada di Komisi III DPR sesuai ketentuan yang ada, tapi prosesnya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Sebagai lembaga yang diatur dalam UUD 1945 wewenang DPR dalam penentuan akhir calon anggota KY sangat terbatas. Secara Konstiusional, batasan tersebut disebabkan adanya pengaturan dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan DPR hanya memberikan persetujuan atas 7 calon anggota KY yang diusulkan. Berbeda dalam seleksi pimpinan KPK, DPR disediakan dua kali lipat dari jumlah kebutuhan pimpinan KPK. Meskipun sama-sama independen, seleksi anggota KY dan KPK di DPR dilakukan dengan cara yang tidak sama.

Keempat, dalam pusaran inflasi lembaga negara independen atau komisi negara independen, penulis juga menawarkan bagaimana strategi melakukan penataan kembali lembaga negara independen agar keberadaannya tidak kontraproduktif dengan gagasan awal pembentukannya. Yang menarik, upaya membuat rancang bangun (re-design) penataan lembaga negara independen harus disesuaikan dengan tujuan bernegara.

Dibutuhkan cetak biru atau blue print untuk mulai menata lembaga negara independen, dasar hukum, sistem rekrutmen, pengawasan, dan pola hubungan antar lembaga harus diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan bernegara. Menurut Saldi, apabila dibaca utuh tebaran pemikiran dalam buku ini, Zainal tidak hanya sedang membahas bagaimana melakukan penataan terhadap lembaga/komisi negara independen, tetapi juga sesungguhnya sedang menawarkan bagaimana seharusnya mulai menata kembali sistem bernegara.

Bagi Saldi, logikanya amat sederhana, negara adalah sesuatu yang abstrak, negara menjadi lebih konkret saat digerakkan oleh organ-organ (lembaga, red) negara. Ketika organ yang menggerakkan negara dibiarkan bekerja dalam tatanan tidak baik sama saja membiarkan negara berada dalam jebakan sengkarut tak berkesudahan. “Kehadiran buku Zainal ini menjadi sangat penting di tengah wacana melakukan kajian ulang terhadap semua lembaga/komisi negara independen.”

Tags:

Berita Terkait