Penanganan Kasus Pidana Lingkungan Masih Cara Konvensional
Utama

Penanganan Kasus Pidana Lingkungan Masih Cara Konvensional

Tidak mudah menyeret pelaku pencemaran lingkungan.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi kamar pidana MA dengan tema
Suasana diskusi kamar pidana MA dengan tema "Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam Perkara Lingkungan Hidup,Jakarta (28/01). Foto: RES
Kamar Pidana MA kembali menggelar diskusi terbuka. Kali ini, topiknya adalah “Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam Perkara Lingkungan Hidup”. Hadir dalam diskusi ini selain para hakim agung antara lain Dekan Fakultas Kehutanan IPB Prof Bambang Hero Saharjo dan Sukma Violetta dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Dalam diskusi, Sukma Violetta mengatakan pemahaman scientific evidence (bukti ilmiah) dalam perkara lingkungan hidup belum merata di kalangan aparat penegak hukum. Hingga kini, aparat penegak hukum masih menggunakan cara-cara konvensional dalam mengungkap perkara-perkara lingkungan hidup seperti kasus kebakaran hutan, illegal logging, dan perambahan hutan yang berdampak pada lingkungan. 

“Padahal alat bukti dalam perkara lingkungan lebih luas, bisa mencakup informasi elektronik, magnetik, optik, data rekaman, informasi yang terekam secara elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 96 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Sukma.

Ditegaskan Sukma, peran ahli juga sangat penting dalam proses hukum kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup. Peran itu termasuk mengungkap unsur-unsur delik, meneliti keabsahan dokumen (perizinan areal, amdal), penelitian lapangan, legal sampling (pengambilan sampel), dan analisis laboratorium.

“Hasil analisis laboratorium atau kalau pendapatnya dituangkan secara tertulis bisa menjadi alat buki surat, tetapi kalau disampaikan dalam dalam persidangan menjadi alat bukti keterangan ahli,” ujarnya.

Dalam forum yang sama, Hakim Agung Prof Suryajaya mengamini pernyataan Sukma. “Paradigma pembuktian dalam perkara lingkungan atau perkara lain itu masih menggunakan cara konvensional karena pemahaman aparat tentang scientific evidence belum merata atau terbatas,” papar dia.

Suryajaya mengatakan sebagian aparat penegak hukum yang tak menerapkan scientific evidence akan menyulitkan para hakim dalam memutus perkara lingkungan. Sebab, para hakim sangat membutuhkan informasi keterangan ahli atau informasi surat yang dikeluarkan instansi yang berwenang.

“Paradigma pembuktian konvensional ini harus diubah, ini tugas kita bagaimana pembuktian scientific evidence bisa diterapkan,” lanjutnya.

Legal Sampling
Sementara itu, Prof Bambang Hero Saharjo menjelaskan kegunaan legal sampling dalam mengungkap modus operandi kasus pidana lingkungan hidup. Misalnya dalam kasus kebakaran hutan, seorang ahli akan melakukan verifikasi sampel objek-objek tertentu seperti tanah/gambut, ranting, atau tanaman pokok yang terbakar, abu bekas terbakar, dan data hotspot periode tertentu. Selanjutnya, dilakukan analisis laboratorium mengenai analisis kerugian kebakaran hutan sesuai fakta di lapangan.

“Dari itu biasanya akan diketahui, modus operandi, lalai atau disengaja, pasal yang tepat untuk disangkakan kepada pelaku perorangan, pengurus korporasi, atau korporasi,” kata Bambang.

Dia menegaskan bahwa menyeret pelaku pencemaran lingkungan ke meja hijau bukan perkara mudah. Makanya, terkadang kasus pencemaran lingkungan hidup diputus bebas murni oleh hakim.

Beruntung, dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, diterapkan multidoors penyelesaian perkara kerusakan lingkungan. Artinya, penyelesaian perkara pencemaran lingkungan tidak hanya pendekatan sanksi pidana, perdata, administrasi, tetapi bisa merambah sanksi tipikor, tindak pidana pajak, dan tindak pidana pencucian uang.

“Mudah-mudah dengan pendekatan cara seperti ini (lintas sektoral), budaya yang merusak (lingkungan) bisa dikurangi,” harapnya.              

Pada bagian lain, Surjaya mengusulkan perlu pengaturan tindak pidana pencemaran udara. Soalnya, tindak pidana pencemaran udara bisa berdampak negatif bagi manusia atau alam sekitarnya. “Sepengetahuan saya, kasus pencemaran udara belum ada, padahal ini penting sekali, seperti dikutip Prof Bambang, ‘Presiden SBY pun tidak bisa bersikap mengenai pencemaran udara yang dilakukan oleh Singapura dan Malaysia.”
Tags:

Berita Terkait