Penanganan Aksi Tolak UU Cipta Kerja Dinilai Langgar HAM
Berita

Penanganan Aksi Tolak UU Cipta Kerja Dinilai Langgar HAM

Banyak orang yang ditangkap mengalami penyiksaan, tidak manusiawi, dan perlakuan buruk lainnya.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit
Aksi demonstrasi menolak persetujuan UU Cipta Kerja. Foto: RES
Aksi demonstrasi menolak persetujuan UU Cipta Kerja. Foto: RES

Menjadi pemandangan umum dalam penanganan sejumlah aksi massa di tanah air belakangan ini, aparat kepolisian bertindak menggunakan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Terakhir, dalam aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang di sahkan pada Senin (5/10) lalu, sejumlah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan kembali tersaji ke hadapan publik Tanah Air.

Koalisi Reformasi Sektor Keamanan bahkan menyebut tindakan aparat dalam mengamankan aksi masyarakat pada tanggal 6-8 serta 13 Oktober sebagai bentuk kebrutalan. “Anggota Polri secara serampangan menembakan gas air mata kepada warga, padahal tidak ada ancaman yang signifikan hingga harus menggunakan kekuatan tersebut. Akibatnya warga menjadi korban,” ungkap Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Rabu (14/10).

Menurut Usman, Koalisi mengecam keras tindakan brutal aparat kepolisian dalam penanganan aksi tolak UU Cipta Kerja. Terakhir, tindakan kepolisian yang masuk dan menembakkan gas air mata ke pemukiman warga di Kwitang, (13/10) malam, mengakibatkan warga ikut menjadi korban dari tindakan kepolisian.

Usman menilai peristiwa-peristiwa tersebut menambah panjang deretan peristiwa kekerasan polisi dalam menangani aksi demonstrasi. Dirinya mencatat tahun lalu terjadi dalam aksi massa memprotes hasil pemilihan umum di bulan Mei 2019, dan juga aksi damai para mahasiswa dan pelajar dalam gerakan Reformasi Dikorupsi pada bulan September. (Baca Juga: Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi)

Dalam kedua peristiwa tersebut menurut Usman, tercatat ratusan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Antara lain penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindak kekerasan, hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet, peluru tajam dan gas air mata. Akibatnya, tindakan ini menyebabkan warga masyarakat mengalami memar, luka robek, bocor di kepala, muka bengkak dan bahkan korban jiwa.

Selain itu, terjadi pembatasan akses informasi sampai penghalang-halangan akses bantuan hukum. Akibat tindakan tersebut, banyak orang yang ditangkap mengalami penyiksaan, tidak manusiawi, dan perlakuan buruk lainnya. Menurut Usman, peristiwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan kepolisian terhadap aksi protes menolak UU Cipta Kerja adalah pengulangan atas pola-pola brutal kepolisian pada peristiwa sebelumnya. “Ini adalah sebuah kemunduran,” ujar Usman.

Peneliti KontraS, Andi Muhammad Rezaldi, mengatakan berbagai instrumen hukum yang telah ada, baik Undang-Undang maupun peraturan internal Polri sudah mengatur dengan tegas bahwa anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia. Bahkan saat menindak orang yang melanggar hukum, kepolisian tetap harus menghormati prinsip praduga tidak bersalah.

Andi berpandangan bahwa kepolisian tidak dapat menggunakan alasan adanya provokasi atau peserta aksi yang terlebih dahulu melakukan kekerasan sebagai justifikasi melakukan kekerasan balik. Tugas kepolisian adalah memastikan pelaku tindak pidana diproses secara hukum, sementara memastikan masyarakat yang terlibat dalam aksi dilindungi hak-haknya. “Lebih dari itu, kepolisian harus menemukan pelaku utama dari provokasi tersebut agar hal serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” ujar Andi.

Oleh karena itu, terhadap peristiwa terakhir, koalisi memandang terdapat sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa. Pertama, penggunaan kekuatan berlebihan berupa kekerasan terhadap peserta aksi. Menurut Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tujuan penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian ialah untuk mencegah, menghambat dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum.

Namun menurut Andi, yang terjadi sebaliknya. Anggota Polri justru menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk melukai massa aksi. Bahkan petugas kesehatan pun yang harusnya dihormati dan dilindungi, juga mengalami kekerasan  hal ini dialami relawan medis Muhammadiyah (13/10). “Tindakan penganiayaan hingga luka-luka merupakan pelanggaran atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Kedua, pembubaran massa aksi menurut koalisi tidak sesuai dengan prinsip dan tahap-tahap penggunaan kekuatan. Masih menurut Perkap Nomor 1 Tahun 2009, dalam menggunakan kekuatan anggota Polri haruslah mengedepankan prinsip proporsionalitas yang berarti penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman dan tingkat kekuatan yang ada.

Ketiga, penangkapan sewenang-wenang. Baik sebelum ataupun setelah aksi demontrasi terjadi, seringkali anggota Polri melakukan perburuan dan menangkap secara sewenang-wenang para massa aski, dengan dalih pengamanan. Padahal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dikenal istilah pengamanan, yang ada ialah penangkapan. 

“Alasan pengamanan ini, merupakan tipu daya Polisi untuk tidak menjalankan kewajibannya memenuhi syarat administratif dalam melakukan penangkapan. Perbuatan Polisi ini merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan seseorang,” ujar Gufron Mabruri dari Imparsial.

Koalisi berpendapat tindakan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dapat terus terjadi disebakan tidak adanya penghukuman baik secara pidana dan etik terhadap aktor yang melakukan kekerasan dan atasan yang membiarkan kekerasan tersebut.

Setidak-tidaknya terdapat 4 (empat) aktor yang harus diminta pertanggungjawaban. Pertama, anggota Polisi yang melakukan tindak kekerasan. Kedua, anggota pengendali lapangan (komandan kompi atau komandan batalyon). Ketiga, komandan kesatuan sebagai pengendali teknis dan yang keempat ialah Kapolda selaku  penanggungjawab pengendalian taktis.

Selain itu, penyebab lainnya ialah minimnya pengawasan dan evaluasi mengenai penggunaan kekuatan yang digunakan. Lebih lanjut, dari berbagai peristiwa yang ada, Koalisi memandang bahwa saat ini reformasi institusi kepolisian mengalami kemunduran. “Hal itu tampak dari aspek kultural Polisi yang harusnya berwatak sipil dan mengedepankan prinsip pemolisian demokratik (democratic policing) berubah menjadi sosok polisi yang militeristik. Sosok polisi yang memposisikan masyarakat sebagai musuh atau lawan,” ujar M. Hafidz dari HRWG.

Untuk itu, Ikhsan Yosarie dari Setara Institute menyebutkan bahwa koalisi mendesak agar Presiden memerintahkan Kapolri untuk segera melakukan reformasi kepolisian secara menyeluruh yang menyentuh berbagai aspek baik kultural, struktural dan instrumental dengan mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik.

Ikhsan juga mendesak agar Kapolri memerintahkan kepada seluruh Kapolda di berbagai wilayah di Indonesia untuk menghentikan tindak kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap massa aksi. Serta melakukan evaluasi terhadap penggunaan kekuatan yang sudah dijalankan.

Kemudian kepada Kabareskrim dan Kepala Propam Mabes Polri, diharapkan untuk melakukan pemeriksaan segera baik secara pidana maupun etik kepada anggota yang diduga melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Pemeriksaan yang dilakukan harus juga dapat menyasar pada atasan terduga pelaku.

Terkahir, kepada Ketua Komnas HAM dan Ketua Ombudsman Republik Indonesia secara bersama-sama membuat tim ad hoc, guna melakukan investigasi secara mandiri terkait tindak kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan aksi demonstrasi.

Tags:

Berita Terkait