Pemungutan Suara Pilkada Potensial Ditunda, Presiden Perlu Siapkan Perppu
Berita

Pemungutan Suara Pilkada Potensial Ditunda, Presiden Perlu Siapkan Perppu

Perppu ini penting bagi KPU untuk menjadi landasan hukum yang kuat dalam menerbitkan keputusan untuk menunda seluruh tahapan Pilkada 2020.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung KPU. Foto: RES
Gedung KPU. Foto: RES

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menilai perlu disiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk melakukan penundaan tahapan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Hal ini menyusul situasi penyebaran pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia dan sejumlah negara di dunia sejak beberapa pekan terakhir.

 

Menurut Abhan, tanggal pemungutan suara Pilkada 2020 seyogyanya jatuh pada 23 September 2020, merupakan amanah UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Jika hari pemungutan suara Pilkada 2020 harus ditunda, maka pemerintah perlu menerbitkan Perppu.

 

“Kalau penundaan Pilkada hari pemungutan suara melampaui bulan september 2020, maka harus dipersiapkan Perppu,” ujar Abhan kepada wartawan, Jumat (27/3/2020) kemarin. Baca Juga: Dampak Covid-19, KPU Tunda Pelaksanaan Tahapan Pemilihan 2020

 

Namun Abhan menyebutkan hingga saat ini belum bisa dipastikan perlu tidaknya pemerintah menerbitkan Perppu. Hal ini mengingat penyebaran wabah Covid-19 belum bisa dipastikan kapan berakhir. Karena itu, Bawaslu dan penyelenggara Pemilu masih terus mengikuti perkembangan. 

 

Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu telah memutuskan untuk menunda beberapa tahapan Pilkada 2020 yang sebelumnya sempat berjalan. Seperti, pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual calon perseorangan dan penelitian (coklit), dan pemutakhiran data pemilih.

 

Menurut Abhan, penundaan beberapa tahapan itu jika berdampak pada penundaan tahapan pemungutan suara, Presiden perlu menebitkan Perppu. Untuk itu, Bawaslu setiap saat terus melakukan koordinasi dengan KPU tentang tahapan Pilkada yang terus terganggu akibat Covid-19. “Seandainya KPU menunda tahapan sekarang sampai Mei atau Juni, maka harus dilihat kembali apakah sisa waktu cukup menyelesaikan tahapan?”

 

Bawaslu sendiri pada Selasa (24/3) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: 025UK.BAWASLUIPM.0.00.0013/2020 tentang Pengawasan Penundaan Tahapan Penyelengaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19. 

 

Melalui surat edaran itu, seluruh jajaran Bawaslu diminta melaksanakan pemetaan terhadap situasi terkini di masing-masing daerah yang berdampak pada penyelenggaraan pemilihan dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Selama masa penundaan Bawaslu tetap bertanggung jawab menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban pengawasan dengan melakukan upaya peningkatan kapasitas pengawasan dan koordinasi antar pengawas pemilihan dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi. 

 

Kemudian Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) beserta Panwaslu Kelurahan/desa yang sudah dilantik agar menunda semua aktvitas terhitung mulai 31 Maret 2020. Kepada Panwascam diberikan honorarium atas kerja bulan Maret dan tidak memberikan honorarium kepada Panwas Kelurahan/Desa yang sudah dilantik. 

 

Segera Terbitkan Perppu

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu Untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan Presiden perlu mengeluarkan Perppu untuk menunda Pilkada 2020. Menurut Titi, Perppu ini penting bagi KPU untuk menjadi landasan hukum yang kuat dalam menerbitkan keputusan untuk menunda seluruh tahapan Pilkada 2020. 

 

“Penundaan Pilkada 2020 mesti menjadi prioritas, karena wabah Covid-19 semakin meluas, dan terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia,” ujar Titi kepada hukumonline, Jumat (27/3/2020). 

 

Menurut Titi, kondisi ini berkaitan erat dengan dengan sebaran daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020. Dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada tersebut tersebar di 32 Provinsi di Indonesia. Hanya DKI Jakarta dan Aceh yang tidak melaksanakan Pilkada 2020. 

 

Sejak pekan lalu, KPU sudah memutuskan untuk menunda pelaksanaan beberapa tahapan pilkada. Hal ini tentu berimplikasi teknis dari penundaan ini akan berdampak pada kontinuitas sejumlah tahapan pilkada lainnya. Termasuk bisa menggeser hari pemungutan suara sebagai aktivitas/tahapan terpenting dalam pilkada. 

 

Dalam Pasal 18 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan PPS dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota 6 bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah pemungutan suara. 

 

“Tentu kalau pelantikan PPS bergeser, maka akan menggeser pula hari pemungutan suara sesuai pasal itu,” ungkap Titi.

 

Titi menilai karena Pilkada dilakukan serentak, maka semestinya dampak penundaan ini tidak hanya dihitung daerah per daerah, tapi juga harus dilihat dalam skala keserentakan. Maka kebijakan yang dibuat harus dengan pendekatan nasional, tidak secara parsial daerah per daerah. 

 

Sementara itu, ketentuan penundaan pilkada yang diatur dalam UU Pilkada, berupa Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 UU No. 1 Tahun 2015, tidak mampu memberi landasan hukum bagi penundaan pilkada secara nasional, tapi parsial daerah per daerah terbatas pada wilayah yang mengalami kondisi luar biasa (force majeur), serta harus dilakukan secara bottom up process, berjenjang dari bawah ke atas.

 

Dengan sudah ditundanya empat aktivitas tahapan pilkada ini, menurut Titi memiliki implikasi langsung terhadap tahapan lainnya, terutama hari pemungutan suara Pilkada 2020 yang dijadwalkan pada 23 September 2020. Karena itu, KPU sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan Pilkada 2020, perlu menyesuaikan kembali tahapan pelaksanaan pilkada agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dan konstitusional.

Tags:

Berita Terkait