Pemulihan Lingkungan yang Rusak dalam Catatan Seorang Hakim Agung
Resensi:

Pemulihan Lingkungan yang Rusak dalam Catatan Seorang Hakim Agung

Buku ini bukan saja memuat gagasan penting pemulihan lingkungan hidup, tetapi bagaimana nurani seorang hakim tergerak membela kepentingan yang lebih besar.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit

Mengapa harus disegerakan pemulihan? Secara hukum, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengharuskan kerusakan lingkungan diperbaiki dan direhabilitasi. Upaya ini adalah bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Dalam UU PPLH berlaku prinsip pencemar membayar, pollutant pays principle (Hal. 253). Apabila putusan sudah dijatuhkan, tergugat diharuskan membayar pemulihan lingkungan, tidak ada jaminan bahwa tergugat secara sukarela menjalankan putusan. Penulis memberikan contoh kasus sebuah perusahaan berlokasi di Aceh yang dihukum membayar pemulihan lingkungan. Akibat pemulihan tidak segera dilakukan, kerusakan pada lahan gambut justru semakin parah (Hal. 252).

Penulis juga mengingatkan satu hal: penundaan eksekusi pemulihan lingkungan justru berakibat pada pembengkakan biaya. Besaran biaya pemulihan pada saat putusan dijatuhkan akan sangat berbeda dari jumlah biaya pemulihan lahan gambut yang rusak dan dibiarkan tanpa pemulihan. “Biayanya akan menjadi semakin besar dan kemungkinan pemulihan lahannya juga semakin sulit” (Hal. 259).

Lagi-lagi, hakim sangat berperan memastikan eksekusi putusan perdata. Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, hakim memang bersifat independen, tetapi juga harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sumber hukum lain yang dikenal. Lewat pengetahuan dan keyakinan, dilandasi bukti-bukti yang diajukan, hakim memutuskan sanksi apa yang layak dijatuhkan kepada pihak yang dinyatakan bersalah, melakukan perbuatan melawan hukum, atau wanprestasi. Bagaimanapun politik hukum mengenai pengelolaan lingkungan hidup berubah-ubah dan mengalami dinamika, kontrol oleh pengadilan merupakan bagian mata rantai yang berfungsi represif. Tentu saja, judicial control itu ada keterbatasan dan kelebihannya (Hal. 376).

Dalam konteks itulah menarik untuk merenungkan ucapan Jean EtienneMarie Portalis (1947-1807), jurist Perancis yang ikut berperan menyusun Code Civil di masa Napoleon Bonaparte. Penulis buku ini mengutip ucapan Portalis: “Suatu kitab hukum, betapapun kelihatan lengkap, di dalam praktik, tidak akan menjawab apabila beribu-ribu masalah yang tidak diduga diajukan kepada hakim. Oleh karena itulah, sekali ditulis, tetap seperti apa yang ditulis. Sebaliknya, manusia tidak pernah berhenti bergerak”.

Gagasan dalam buku ini penting, karena seperti yang disebut Ketua Mahkamah Agung HM Syarifuddin dalam pengantar, membuka jalan atas kebuntuan sekaligus menjawab kebutuhan atas tuntutan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Memulihkan lingkungan berarti membangun keadilan lintas generasi, terutama generasi mendatang.

Bagaimanapun, karya tulis hakim kelahiran 1957 ini telah memperkaya literatur penegakan hukum lingkungan. Para pembaca tinggal menunggu bagaimana sang hakim menuangkan gagasan mulia itu ke dalam putusan-putusan pro natura karena hingga buku ini diterbitkan, penulis masih tercatat sebagai hakim agung aktif.

Selamat membaca…!

Tags:

Berita Terkait