Pemohon Pengujian UU Dikti Dinilai Tak Fokus
Berita

Pemohon Pengujian UU Dikti Dinilai Tak Fokus

Terkesan hanya coba-coba karena semua pasal dihantam.

ASH
Bacaan 2 Menit
Beberapa mahasiswa Universitas Andalas persoalkan UU Dikti ke MK. Foto: Sgp
Beberapa mahasiswa Universitas Andalas persoalkan UU Dikti ke MK. Foto: Sgp

Beberapa mahasiswa Universitas Andalas kembali mempersoalkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) ke MK. Mereka adalah Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni, Ramzanjani, dan Ari Wirya Dinata. Para pemohon yang tercatat sebagai pengurus BEM Universitas Andalas, merasa dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal dalam UU Dikti.

Pasal yang disasar yaitu Pasal 50, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, dan Pasal 90. Menurut pemohon, berlakunya sejumlah pasal itu menumbuhkan praktik liberalisasi dan komersialisasi dalam dunia pendidikan. Akibatnya, mahasiswa yang tergolong kurang mampu akan kesulitan menikmati/mendapatkan hak pendidikan tinggi yang dijamin UUD 1945.

“Pemberlakuan pasal-pasal itu berakibat munculnya ‘raja-raja kecil’ di kampus perguruan tinggi negeri khususnya dalam pengelolaan keuangan negara secara otonom (desentralisasi),” kata salah satu pemohon, Azmy Uzandy dalam sidang perdana yang digelar lewat video conference, Selasa (20/11). 

Misalnya, Pasal 50 ayat (1) menyebutkankerjasama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai ke Indonesiaan.

Sedangkan Pasal 65 ayat (2) menyebutkan perguruan tinggi negeri yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.    

Usai pembacaan permohonan, Majelis Panel yang dipimpin Hamdan Zoelva mengkritik habis materi permohonan yang dinilai belum jelas atau kabur. Hamdan, misalnya, mengkritik permohonan karena belum menguraikan argumentasi/alasan pasal per pasal yang dimohonkan pengujian.

“Permohonan belum menguraikan argumentasi pasal per pasal yang benar-benar menunjukkan adanya pertentangan pasal yang diuji dengan pasal UUD 1945, seharusnya diuraikan satu per satu agar menjadi jelas,” pinta Hamdan.

Dia khawatir jika materi permohonan tetap tidak jelas atau kabur (obscuur) seperti ini, permohonannya akan sia-sia. Karena itu, ia meminta pemohon merombak permohonan ini.

“Sebaiknya Saudara mereformulasi ulang permohonan dalam waktu 14 hari, kalau tidak itu hak Saudara,” sarannya. “Legal standing pemohon seharusnya langsung saja mengatasnamakan BEM, tidak perlu masing-masing pemohon menguraikan argumentasinya.”

Anggota panel hakim, Ahmad Fadlil Sumadi mengingatkan agar pengujian undang-undang ini jangan dijadikan praktik bersidang. Akan tetapi, pengujian undang-undang ini benar-benar ada hak konstitusional mahasiswa yang dilanggar/terganggu. “Saya melihat ada kesan hanya coba-coba karena melihat substansi permohonan semua pasal ‘dihantam’, tidak fokus konstitusionalitas norma yang merugikan Saudara itu dimana?” kritik Fadlil.     

Fadlil menyarankan agar para pemohon fokus terhadap norma yang benar-benar merugikan mahasiswa disertai alasan yang jelas. Sebab, materi permohonan belum menguraikan kerugian konstitusional pemohon.

“Mulailah dengan fokus, Saudara belum menjelaskan kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang itu. Misalnya, kerugian itu akan hilang jika pasal-pasal itu dibatalkan, coba ini dipikirkan,” sarannya.

Permohonan juga harus menguraikan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan konstitusi. “Saudara juga harus memikirkan akibat yang muncul kalau pasal itu dihapuskan. Misalnya, Pasal 50 itu kontruksinya apa dan bertentangan dengan UUD 1945 itu bagaimana? Jadi itu harus dijelaskan dimana letak ketidakadilannya Pasal 50 itu.”  

Selain itu, kata Fadlil, para pemohon harus memastikan permohonan ini diajukan perorangan atau mengatasnamakan BEM. “Kalau sebagai perorangan, kenapa BEM ditulis? Ini harus Saudara pastikan karena konstruksi hukumnya berbeda,” sarannya.  

Sebelumnya, Majelis Panel yang sama juga menyidangkan pengujian UU yang sama yang dimohonkan enam mahasiswa Universitas Andalas (Unand) yang tergabung dalam Forum Peduli Pendidikan (FPP) yaitu M. Nurul Fajri, Candra Feri Caniago, Depitriadi, Roky Septiari, Armada Pransiska, dan Agid Sudarta Pratama. Mereka mempersoalkan Pasal 65, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 86, Pasal 87 UU Dikti.

Mereka menilai pemberlakuan UU Diktimengakibatkan biaya pendidikan tinggi menjadi mahal yang berorientasi pasar, sehingga sulit diakses masyarakat kurang mampu. Modal menjadi mitra utama penyelenggaraan pendidikan tinggi karena pemerintah mereduksi perannya, sehingga menimbulkan diskriminatif.

Tags: