Pemilukada 2010 Dinilai Koruptif
Berita

Pemilukada 2010 Dinilai Koruptif

Perubahan sistem pemilukada dari sistem pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD diyakini tidak akan mampu mengikis korupsi di pemilukada.

Abdul Razak Asri
Bacaan 2 Menit
Tahun 2010 tercatat sebagai tahunnya pesta demokrasi di daerah <br>dan Pemilukada 2010 dinilai koruptif. Foto: Sgp
Tahun 2010 tercatat sebagai tahunnya pesta demokrasi di daerah <br>dan Pemilukada 2010 dinilai koruptif. Foto: Sgp

Tahun 2010 tercatat sebagai tahunnya pesta demokrasi di daerah. Tidak kurang dari 244 pemilukada tingkat provinsi dan kabupaten digelar di seluruh pelosok Indonesia. Menariknya, sekitar 95 persen atau 232 di antaranya berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi.

 

Fenomena ini bagi ICW adalah satu indikator bahwa pemilukada berjalan amburadul. Sebagaimana didalilkan para pihak yang berperkara di MK, pelanggaran banyak terjadi dalam pemilukada.

 

“Kami menyimpulkan pemilukada sepanjang 2010 adalah demokrasi electoral tanpa integritas,” ujar Abdullah Dahlan, Peneliti ICW, dalam sebuah jumpa pers di Jakarta, Senin (20/12).

 

Kesimpulan ini didasarkan pada pemantuan ICW sepanjang pelaksanaan pemilukada periode 1 Januari 2010 hingga 12 Desember 2010. Dari pemantauan itu, ICW mendapati banyak perilaku koruptif dalam penyelenggaraan pemilukada. Modusnya mulai dari pembagian uang secara langsung, pembagian sembako, pembagian jilbab, proyek perbaikan jalan hingga pembagian tabung gas.

 

Pelakunya, menurut Peneliti ICW lainnya Apung Widadi, didominasi oleh tim sukses. Selanjutnya secara berurutan, aktor korupsi pemilukada adalah pasangan calon, perangkat pemerintah, dan broker suara. Berdasarkan kajian ICW, fenomena korupsi pemilukada terjadi karena longgarnya peraturan hukum yang mengatur pilkada, pengawasan yang sangat kurang dan juga karena sanksi yang diterapkan tidak tegas.

 

“Loopholes (kelemahan, red.) itu terutama terkait aturan tentang dana kampanye dan politik uang yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005,” Apung menambahkan.

 

Soal pengawasan yang kurang, ICW menyodorkan fakta menarik bahwa pelanggaran pemilukada justru banyak diungkap oleh para kandidat ketimbang lembaga pengawas seperti Bawaslu atau Panwas Pemilukada. Fakta ini, kata Apung, menunjukkan kontrol penyelenggara dan pengawas yang lemah. “Bawaslu seperti macan ompong, KPU (pusat dan daerah, red.) kinerjanya lemah,” tukasnya.

 

Maka dari itu, dalam rekomendasinya, ICW memandang perlu dilakukan penguatan kinerja penyelenggara dan pengawas. Salah satu caranya, menurut Abdullah, adalah dengan membuat suatu indikator kinerja yang jelas sehingga performa penyelenggara dan pengawas dalam pelaksanaan pemilukada bisa diukur. Selain itu, kontrol publik juga perlu diperkuat.

 

Rekomendasi berikutnya, ICW mengusulkan agar diadakan sebuah lembaga pengawasan terhadap penyelenggara dan pengawas. Secara umum, ICW memandang perlu juga dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan pemilukada 2010 agar kejadian sama tidak terulang kembali.  

 

Perubahan sistem?

Abdullah menegaskan masalah korupsi dalam pemilukada tidak akan serta merta teratasi jika sistem pemilihannya diubah. Sistem pemilihan langsung ataupun melalui DPRD tetap akan memunculkan potensi korupsi, hanya saja dengan modus yang berbeda. Dengan memberi kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, menurut Abdullah, justru akan membuka peluang terjadinya korupsi dengan modus cukong yang memodali politisi untuk memilih kandidat kepala daerah tertentu.

 

“Menurut saya, perubahan sistem bukan solusi karena masalahnya bukan soal metode pemilihan, tetapi mindset (pola pikir, red.) yang korup. Tidak ada jaminan, dengan DPRD praktik korupsi tidak terjadi,” ujar Abdullah.

 

Belakangan, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memang gencar mewacanakan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Sebagaimana dilansir www.metrotvnews.com, salah satu alasan yang dikemukakan Gamawan adalah demi menekan perilaku korup di kalangan kepala daerah.  


"Sudah 155 bupati atau wali kota jadi tersangka dan 17 gubernur jadi tersangka. Apa ini enggak perlu kita pertimbangkan?" Gamawan menyodorkan data.

 

Perilaku korup, menurut Gamawan, di antaranya didorong oleh biaya pemilukada yang tinggi. Untuk bertarung di pemilukada saja, seorang kandidat harus mengeluarkan dana sekitar Rp50 milyar. Biaya ini kontras dengan gaji kepala daerah yang berkisar Rp8,5 juta per bulan.

 

Tags: