Pemilu Mesti Mendapatkan Pemimpin Rakyat yang Berkualitas
Pojok MPR-RI

Pemilu Mesti Mendapatkan Pemimpin Rakyat yang Berkualitas

Wacana mengembalikan UUD 1945 seperti halnya sebelum diamandemen.

RED
Bacaan 2 Menit
Foto: Humas MPR
Foto: Humas MPR

Wakil Ketua MPR Mahyudin menilai diskusi yang digelar di Press Room bertajuk  ‘MPR Rumah Kebangsaan Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat’, merupakan acara yang menarik. Soalnya bila melihat MPR sebelum UUD 1945 diamandemen, lembaga tersebur merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Di lembaga tertinggi tersebut selain ada calon yang dipilih lewat Pemilu, juga ada anggota yang diangkat untuk mewakili utusan daerah dan golongan. “Di lembaga ini anggota MPR melakukan musyawarah," ujarnya Kamis (22/11).

 

Selepas UUD 1945 diamandemen, MPR menjadi lembaga negara setara dengan DPR, DPD, MK, KY, MA, BPK, dan lembaga negara lainnya. Anggota yang diangkat yakni utusan daerah dan golongan pun tak ada. Pasalnya semua anggota MPR dipilih melalui Pemilu. Dengan  demikian anggota MPR merupakan  gabungan anggota DPR dan DPD, dimana kedua lembaga negara itu semua anggotanya dipilih lewat Pemilu. Dengan sistem Pemilu, Mahyudin berpendapat terdapat  kelompok, golongan, dan komunitas masyarakat lain yang tak terwakili di MPR.

 

 “Sekarang kita tak lagi melihat representasi semua masyarakat di MPR," ujarnya.

 

Pria asal Kalimantan itu mengakui sistem Pemilu ada nilai positif dan negatifnya. Dari segi positif rakyat dapat memilih atau menentukan siapa saja wakil rakyat atau pemimpin yang dikehendaki. Namun di sisi yang lain, orang yang tidak pantas pun bisa menjadi wakil rakyat bila ia memperoleh suara yang cukup.

 

Menurutnya, bila kondisi masyarakat sudah cerdas dan perekonomian telah mapan maka Pemilu yang terjadi menghasilkan sesuatu yang ideal. Namun ketika di lapangan kondisi masyarakat terjadi sebaliknya sehingga membuat terjadinya praktik money politic, pembagian sembako, dan praktek lain yang serupa. Dengan  demikian akan menyebabkan hanya orang-orang yang bermodal yang bisa menjadi wakil rakyat.

 

“Banyak kader yang berkualitas tak terpilih karena tak punya modal," katanya.

 

Kondisi yang demikian, di mana hanya orang yang bermodal yang berpeluang besar menjadi wakil rakyat, menurut mantan Bupati Kutai Timur itu menyebabkan terjadinya penurunan kualitas parlemen. Dicontohkan sering dalam Rapat Paripurna DPR, kursi yang ada banyak yang kosong. Itu terjadi karena banyak anggota DPR menyebut tak ada hubungan antara rajin menghadiri rapat atau sidang dengan keterpilihan saat Pemilu. “Menyedihkan bila saat rapat-rapat komisi tak ada orang”, tuturnya. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana sistem Pemilu yang ada diubah dengan lebih mengedepankan terpilihnya sosok-sosok yang berkualitas.

 

Dalam kesempatan tersebut Mahyudin menyebut UU MD3 mengamanatkan kepada lembaga ini untuk Sosialisasi Empat Pilar. Dalam sosialisasi disebut MPR tidak melakukan doktrinisasi. Saat ini dirinya mendengar survei bahwa ada potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat. Mensikapi yang demikian, Mahyudin mengatakan dengan sosialisasi diharap jumlah potensi radikalisme tidak meningkat dan yang belum terkena dampak radikalisme perlu dibentengi.

 

 “Untuk pemerintah harus juga ikut melakukan sosialisasi," ujarnya.

 

Di tempat yang sama, Pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin  berharap agar MPR menjadi rumah kebangsaan. Diakui tugas lembaga ini berat seperti mengubah dan menetapkan UUD, bisa memakzulkan Presiden, dan bisa memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tugas berat inilah yang membuat MPR tak bisa disamakan dengan lembaga negara lain apalagi dengan kementerian.

 

Dengan anggota mencapai 692 orang, diakui tak mudah mengumpulkan orang sebanyak itu. hal tersebut berbeda dengan hakim MK yang jumlahnya sembilan orang. Irman  mengandaikan MPR  dapat  memantau kinerja Presiden. Namun diakui hal demikian sulit. Soalnya,  struktur hukum yang ada sudah membatasi MPR. “MPR ke depan kehadirannya harus bisa dirasakan publik," ujarnya.

 

Menurutnya, hasil amandemen UUD 1945  sudah berjalan 20 tahun. Dalam rentang waktu yang ada sudah terlihat banyak perubahan. Namun dalam perubahan itu diakui ada hal-hal yang membuat rakyat merasa tak nyaman dengan sistem yang berjalan.  Pasalnya di tengah masyarakat, antar tetangga  bermusuhan  bermusuhan lantaran  beda pilihan menjelang Pemilu Presiden. Dari sinilah akhirnya ada yang membenarkan sistem Pemilu di era orde baru dengan sistem perwakilan di DPRD, sebelum UUD diamandemen. Sistem sebelumnya dirasa benar sehingga ada wacana kembali ke UUD Tahun 1945. Irman menyebut perlu dipikirkan kembali apa yang perlu diperbaiki. Meski demikian diingatkan tak ada UUD yang sempurna. 

Tags:

Berita Terkait