Pemilu Makin Dekat, Pahami Ragam Pelaku dalam Tindak Pidana Pemilu
Berita

Pemilu Makin Dekat, Pahami Ragam Pelaku dalam Tindak Pidana Pemilu

Seharusnya sanksi administratif terhadap peserta pemilu yang lebih ditekankan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 548 mengatur unsur setiap orang yang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha mliki daerah, Pemerintah Desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbangakan atau diberikan kepada pelaksana kampanye , dan seterusnya. Ada lagi unsur setiap orang, unsur setiap anggota PPS atau PPLN atau setiap anggota KPPS/KPPSLN, serta setiap anggota KPPS atau Ketua dan anggota KPPS. Hukumonline mencatat kurang lebih sekitar 19 kali unsur ini disebutkan dalam UU Pemilu untuk menjerat sejumlah delik yang berbeda, baik unsur tersebut disebutkan secara sendiri, ataupun opsional maupum kumulatif dengan sejumlah unsur-unsur yang lain. Contoh ketika unsur ini berdiri sendiri misalnya pada Pasal 508, setiap anggota PPS tidak mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS diwilayahnya, dan seterusnya.

 

(Baca juga: Ragam Persoalan dalam Sengketa Pemilu)

 

Ada pula unsur sejenis yang disebutkan secara kumulatif dengan sejumlah unsur yang lain seperti pada Pasal 505, Anggota KPU , KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS karena lalainya menyebabkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitualasi hasil pemungutan dan penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dan seterusnya (tabel).

 

Hukumonline.com

 

Dengan demikian, banyak rumusan tindak pidana dalam UU Pemilu. Pengaturan ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan tujuan pemidanaan pada umumnya, yakni sebagai upaya terakhir untuk memproteksi proses penyelenggaraan pemilu secara holistik. “Bagi siapa yang melanggar ada ancaman sanksi pidananya. Jadi itu bisa dalam rangka mencegah kemudian bisa juga dalam rangka memberikan efek jera,” ujar peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Fadly Ramdhanil kepada hukumonline, Senin (11/3).

 

Terkait penerapan unsur subyektif dalam ketentuan UU Pemilu Fadly menjelaskan beberapa subyek yang disebut dalam UU Pemilu memiliki keterkaitan erat dengan kewenangan dan kewajibannya sebagai badan publik. KPU sebagai penyelenggara misalnya, beberapa kali disebut memiliki wewenang dan kewajiban menjalankan penyelenggaraan sesuai dengan perintah Undang-Undang. Demikian halnya dengan aparatur sipil negara ataupun pejabat lainnya. Ada kewajiban untuk bersikap netral dan sebagainya. “Unsur setiap orang, karena semua orang berpotensi melakukan itu (tindak pidana pemilu),” terang Fadly.

 

Dari segi pengaturan, Fadly menilai problem pemidanaan Pemilu terletak pada jumlah ancaman sanksi pidana yang terlalu banyak. Ia mempertanyakan aspek efektivitas keberadaan ancaman pidana yang dalam konteks penyelenggaraan pemilu akan jauh lebih relevan jika sanksi administratif terhadap peserta pemilu yang lebih ditekankan. Hal ini akan jauh lebih berdampak kepada kepatuhan ketimbang paradigma pemidanaan.

 

Paradigma pemidanaan dalam kontek peyelenggaraan Pemilu menurut Fadly relevan diterapkan terhadap sejumlah kriteria ancaman yang berdampak pada terganggunya keamanan proses penyelenggaraan Pemilu. Sementara tindakan kecurangan atau pelanggaran administrasi terhadap proses akan lebih baik menggunakan ancaman sanksi administratif atau bahkan diskualifikasi terhadap keikutsertaan dalam Pemilu. “Ancaman pidana terhadap PPS yang tidak melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih itukan gak perlu. Itu penyelenggara di atasnya bisa melakukan. Nah hal-hal begitu menurut saya ke depan harus diperbaiki”.

Tags:

Berita Terkait