Pemerintah Usul Kesekjenan Diatur dalam Perpres
Berita

Pemerintah Usul Kesekjenan Diatur dalam Perpres

Menaikkan status dari aturan Tatib ke dalam UU dalam rangka perbaikan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Usul Kesekjenan Diatur dalam Perpres
Hukumonline
Pembahasan Revisi UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD kembali digelar dalam rapat antara Panja dengan pemerintah. Pemerintah dalam pandangannya mengusulkan Sekretariat Jenderal (Sekjen) MPR, DPR, DPD dan DPRD tidak diatur dalam Revisi UU MD3, tetapi diatur dalam Perpres.

“Kesekjenan tidak perlu diatur dalam revisi UU ini, tetapi cukup diatur dalam Perpres,” ujar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Wicipto Setiadi, mewakili pemerintah dalam rapat pembahasan Revisi UU MD3 dengan Panja di Gedung DPR, Kamis (19/6).

Konsep kesekretariatan dalam lembaga parlemen, prinsipnya pemerintah dapat memahami dalam rangka efektifitas kinerja MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasalnya, hal tersebut sejalan dengan reformasi yang sudah berjalan. Terlebih, telah terbit UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Wicipto berpandangan, kesekjenan berada dalam ruang lingkup eksekutif. Pandangan pemerintah tersebut setelah melakukan diskusi dengan sejumlah pakar dan ahli. Namun, memang sejauh ini belum ada kesepakatan apakah sebaiknya kesekjenan diatur dalam UU atau dalam aturan lain.

Terkait usulan tersebut, kata Wicipto, pembahasan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) berjumlah 313 item. Nah, terkait usulan tersebut dapat dilakukan pembahasan terkait dengan 13 isu yang ada dalam Revisi UU MD3.  Dalam DIM pemerintah, pemerintah pula mengusulkan penghapusan sejumlah substansi pasal.

Alasannya, antara lain telah terdapat dalam aturan lain yang berakibat tumpang tindih. Misalnya, substansi pasal tertentu dituangkan dalam bab lain. “RUU ini memang pembahasannya teknis. Jika dapat disetujui dengan Perpres kita menyusunnya juga melibatkan teman-teman tim ahli DPR,” ujarnya.

Wakil Ketua Panja Revisi UU MD3, Ahmad Yani, menyatakan ketidaksetujuannya dengan usulan pemerintah. Menurutnya, jika alat kelengkapan berada di kesekjenan dan dituangkan dalam Perpres akan menimbulkan persoalan baru. Yani berpandangan alat kelengkapan dan kesekjenan berada dalam Tata Tertib yang harus dinaikkan statusnya  menjadi UU.

“Bukan sebaliknya dituangkan dalam Perpres,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpendapat revisi UU MD3 dalam rangka memperbaiki parlemen secara kelembagaan dan memperbaiki kinerja anggota dewan agar menjadi lebih produktif. Yani berpandangan, perlu lagi pendalaman soal sejumlah kesepahaman antara pemerintah dan DPR dalam membahas Revisi UU MD3.

Wakil Ketua Panja lainnya, Aziz Syamsuddin menambahkan persoalan diatur tidaknya kesekjenan dalam Perpres, tergantung dalam pembahasan. Menurutnya, DPR dan pemerintah harus memiliki kesepemahaman yang sama dalam memperbaiki parlemen. “Itu nanti masuk dalam pembahasan,” katanya.

Anggota Panja Sarifuddin Sudding berpandangan, pemerintah memiliki perbedaan persepsi terkait Revisi UU MD3. Ia menilai pemerintah dalam melakukan pembahasan sama halnya dengan UU lainnya, yakni tambal sulam. Padahal, Revisi UU MD3 berbeda.

Sudding berpendapat revisi dalam rangka mengubah agar dewan tidak lagi menjadi masalah. Misalnya Banggar yang tidak menjadi alat kelengkapan yang tetap. “Kita tidak ingin menjadi sorotan KPK, kami ingin ada perubahan. Pemerintah seperti melihat UU ini tambal sulam,” katanya.

Lebih jauh, politisi Partai Hanura berpandangan Baleg yang membahas UU yang dianggap tidak terlampau prioritas kerap berselancar ke luar negeri. Padahal menggunakan dana rakyat. Maka dari itu, alat kelengkapan DPR perlu dituangkan dalam Revisi UU MD3.

Mekanisme seperti itu, kata Sudding, tak dapat dipertahankan. Sebaliknya justru diubah agar anggota dewan lebih produktif dan menghasilkan legislasi yang bermutu. “Kalau mau dipertahankan seperti ini buat apa. Kesekjenan diatur dalam Perpres buat apa, seperti tambal sulam,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait