Pemerintah Usul DPR Ubah Batas Usia Perkawinan
Berita

Pemerintah Usul DPR Ubah Batas Usia Perkawinan

DPR meminta Kementerian PPPA melakukan kajian mendalam melalui kegiatan penelitian dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pasangan yang melangsungkan perkawinan. Foto: SGP
Ilustrasi pasangan yang melangsungkan perkawinan. Foto: SGP

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terus  mendorong revisi terhadap UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasannya, maraknya praktik perkawinan usia anak yang belakangan praktik ini terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Sebab, Kementerian PPPA menolak keras terjadinya praktik perkawinan yang dilakukan pasangan yang usianya masih kategori anak-anak.

 

Karena itu, solusi agar tidak lagi terjadi praktik perkawinan usia anak, batasan usia menikah sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan mesti diubah. “Praktik pernikahan usia anak atau di bawah syarat usia menikah dalam UU Perkawinan masih menjadi persoalan. Karenanya, perlu didorong usia pernikahan diubah,” ujar Menteri PPPA Yohana Yembise di Gedung DPR beberapa waktu lalu.

 

Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan, “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan mengatur batas minimal usia bagi laki-laki dan perempuan untuk dapat melangsungkan pernikahan. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

 

Namun, aturan batasan usia menikah tersebut, praktiknya bagi perempuan yang melangsungkan penikahan banyak yang di bawah usia 16 tahun. Karena itu, dia mengusulkan revisi UU Perkawinan bisa digagas untuk masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), khususnya revisi soal batasan usia dinaikan menjadi 20 tahun bagi perempuan dan 22 tahun bagi laki-laki.

 

Menurutnya, sebagian kalangan masyarakat sudah mendesak agar dilakukan revisi UU Perkawinan dan pemerintah sudah menangkap aspirasi tersebut. Karenanya, instansi yang dipimpinnya sedang berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Mulai Kementerian Agama, kelompok pemerhati perlindungan anak dan lembaga swadaya masyarakat. “Banyak kalangan yang menginginkan menaikan batas usia pernikahan,” ujarnya.

 

Terpisah, Ketua Komisi VIII DPR, Ali Taher Parasong mengakui banyak dorongan dari kelompok masyarakat agar UU Perkawinan dapat segera direvisi. DPR, kata Ali, bakal mempertimbangkan usulan pemerintah ini sekaligus meminta pihak Kementerian PPPA melakukan riset dan kajian mendalam dari berbagai aspek, mulai aspek sosiologis, historis, filosofis, yuridis.

 

Menurutnya, merevisi UU Perkawinan mesti dilakukan dengan teliti dan hati-hati. Sebab, banyak pula masyarakat yang tak ingin merevisi UU Perkawinan yang sudah berlaku selama 44 tahun ini. Alasannya, UU Perkawinan ini dipandang masih relevan mengatur segala hal tentang perkawinan dengan segala akibat hukumnya. Baca Juga: Kasus Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi se-Asia Pasifik

 

Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid menilai peran KPAI dan Kemenag menjadi penting dalam upaya mencegah terjadinya praktik pernikahan usia anak. Sebab, banyak tindak kejahatan terhadap anak lantaran disebabkan perkawinan usia anak. “KPAI dan Kemenag harusnya fokus di situ,” ujarnya.

 

Lebih lanjut Ali Taher yang politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu meminta kajian mendalam dari Kementerian PPPA dengan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait serta kelompok masyarakat pemerhati perlindungan anak. Tak kalah penting, kajian ini harus diperkuat dengan kegiatan penelitian di berbagai daerah.

 

Sebab, baginya aspek sosiologis menjadi bagian terpenting dalam melakukan revisi UU Perkawinan ini. Karenanya, kajian mendalam soal batasan usia mesti ditunjang dengan hasil penelitian tersebut. “Idealnya berapa untuk pernikahan dini, kalau pengertian wanita dewasa itu ada yang 18 tahun, ada yang 19 tahun, dan perdata 21 tahun. Karena itu, batas usia ini mau disoroti dari sisi apa,” ujarnya.

 

Sementara, Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta mengaku telah turun ke lapangan dengan melakukan koordinasi dengan pihak Pelaksana Tugas Bupati Kabupaten Bantaeng Sulawei Selatan, Muhammad Yasin. Menurutnya, koordinasi ditekankan pada upaya-upaya penanganan, seperti pendampingan dan pemantauan terhadap anak dan mendorong komitmen daerah untuk mencegah perkawinan usia anak terjadi lagi.

 

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak mentolerir dan menolak perkawinan usia anak, karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak. Kita ingin memastikan hak–hak anak dapat terpenuhi, terutama pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait