Pemerintah Tidak Ngotot Sahkan Revisi UU Yayasan
Berita

Pemerintah Tidak Ngotot Sahkan Revisi UU Yayasan

Meski naskah RUU Perubahan UU Yayasan telah diterima DPR, pemerintah tidak mempunyai target kapan RUU tersebut mesti diselesaikan. Padahal, substansi UU Yayasan mengandung banyak kelemahan serta menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.

Amr
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Tidak Ngotot Sahkan Revisi UU Yayasan
Hukumonline

Pemerintah akhirnya menyerahkan naskah RUU tentang Perubahan UU No.16/2001 tentang Yayasan kepada DPR untuk dibahas. Menurut salah seorang staf di Biro Persidangan Sekretariat DPR, naskah RUU Perubahan UU Yayasan diterima saat DPR dalam masa reses dan telah diumumkan di rapat paripurna pada 28 April.

 

Hal demikian dibenarkan oleh Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM, Abdul Gani Abdullah. Namun, Gani mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui kapan RUU tersebut akan mulai dibahas oleh DPR.

 

Gani mengatakan bahwa pemerintah tidak menetapkan target kapan RUU tersebut akan disahkan menjadi UU. "Kalau sudah masuk DPR itu tergantung DPR, Pemerintah tidak bisa lagi menentukan," ucapnya saat dihubungi hukumonline.

 

Lebih jauh, ia juga menegaskan bahwa selama RUU perubahan UU Yayasan belum ditetapkan menjadi UU, maka UU No.16/2001 tentang Yayasan tetap berlaku efektif. Termasuk, ketentuan mengenai larangan pengurus yayasan menerima gaji, upah atau honorarium dari yayasan. "Sampai sekarang pun tetap tidak boleh (menerima gaji), selama belum ada pengganti undang-undang itu," demikian tegas Gani.

 

Sebenarnya, RUU Perubahan UU Yayasan sudah disusun pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman dan HAM, sejak pertengahan 2002. Meski di atas kertas UU Yayasan dinyatakan berlaku efektif sejak Agustus 2002, di lapangan UU tersebut tidak benar-benar diimplementasikan.

 

Hal demikian tidak terlepas dari pernyataan yang pernah dikeluarkan Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra bahwa secara efektif UU Yayasan masih belum berlaku. Pernyataan resmi tersebut disampaikan Menkeh HAM hanya beberapa hari setelah UU Yayasan secara hukum berlaku efektif. (Lihat hukumonline, 22/08/02)

 

Harus partisipatif

Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho mengatakan bahwa revisi terhadap UU No.16/2001 harus dilakukan secara komprehensif, partisipatif dan tidak terburu-buru. "Pembahasannya harus komprehensif dan partisipatif. Jangan sampai mengulangi kesalahan Undang-undang yang lalu."

 

Jika dilihat dari naskah RUU Perubahan UU Yayasan, pihak penyusun RUU Perubahan UU Yayasan dengan jujur mengakui bahwa substansi UU No.16/2001 mengandung banyak kelemahan yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidaktertiban hukum di tengah-tengah masyarakat.

 

Dalam konsiderans 'menimbang" RUU Perubahan antara lain disebutkan bahwa UU No.16/2001 mulai berlaku pada 6 Agustus 2002. Namun, UU tersebut dalam perkembangannya belum seluruhnya menampung kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Selain itu, beberapa substansinya dapat menimbulkan berbagai penafsiran, sehinga perlu dilakukan perubahan terhadap UU tersebut.

 

Terkait dengan hal itu, Eryanto mengatakan bahwa sejak 6 Agustus 2002 baru 129 dari ribuan yayasan di seluruh Indonesia yang sudah mendaftarkan diri ke Depkeh untuk menyesuaikan Ketentuan Peralihan UU No.16/2001. Pasal 71 ayat (2) UU No.16/2001 mewajibkan yayasan yang dibentuk sebelum keberlakuan UU tersebut untuk mendaftarkan diri ke Depkeh.

 

"Karena kesalahan Undang-undang No.16 Tahun 2001 ribuan yayasan sekarang secara hukum bukan lagi berstatus badan hukum yayasan karena mereka tidak memenuhi ketentuan pasal 71," ucap Eryanto.

 

15 pasal direvisi

RUU Perubahan UU Yayasan tidak hanya merevisi sebagian pasal atau ayatnya, tetapi juga menambah beberapa pasal serta ayat baru. Sebanyak 15 dari 73 pasal UU Yayasan direvisi oleh RUU perubahannya. Pasal-pasal baru yang ditambahkan dalam RUU hanya terdiri dari dua pasal yaitu pasal 13A dan pasal 72A.

 

Pasal-pasal UU Yayasan yang mengalami perubahan tersebut adalah pasal 5, pasal 11, pasal 12, pasal 24, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 38, pasal 44, pasal 52, pasal 58, pasal 60, pasal 68, pasal 71, dan pasal 72.

 

Sebenarnya, perubahan UU Yayasan dilakukan untuk merespons kritik dan protes masyarakat seputar ketentuan yang melarang pengurus yayasan menerima gaji dari yayasan tempat mereka bekerja. Ketentuan hukum yang melarang pengurus mendapat gaji dari yayasan terdapat dalam pasal 5 UU No.16/2001.

 

Dalam naskah RUU, pasal 5 telah diubah sedemikian rupa, sehingga pengurus diperbolehkan menerima gaji, upah atau honorarium dari yayasan. Ketentuan itu merupakan pengecualian dari prinsip yang dianut oleh UU tersebut bahwa yayasan dilarang mengalihkan kekayaannya secara langsung atau tidak langsung dalam bentuk gaji/upah/honararium kepada pembina, pengurus dan pengawas.

 

Namun, RUU menegaskan bahwa pengurus yang boleh menerima gaji dari yayasan tersebut adalah pengurus yang bukan pendiri dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina dan pengawas yayasan. Ditentukan pula bahwa pengurus yang diperbolehkan menerima gaji dari yayasan hanyalah pengurus yang secara langsung dan full time.

 

Tags: