Pemerintah Tegaskan UU Arbitrase dan APS Konstitusional
Berita

Pemerintah Tegaskan UU Arbitrase dan APS Konstitusional

Hakim Konstitusi mengingatkan pemerintah tentang pertanyaan yang paling dasar dari pemohon yakni pendaftaran putusan arbitrase tidak memiliki tenggang waktu.

ASH
Bacaan 2 Menit
Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Pemerintah menganggap dalil permohonan uji materi Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) tidak jelas. Sebab, hak pemohon secara konstitusional sama sekali tidak dirugikan/terlanggar terkait hilangnya hak mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional ke PN Jakarta Pusat  

“Ketentuan syarat-syarat pelaksanaan putusan arbitrase interasional sudah diatur jelas dalam Pasal 34 UU Arbitrase dan APS,” kata Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi dalam sidang lanjutan pengujian UU Arbitrase dan APS di Gedung MK, Senin (9/3).

Pemerintah menegaskan ketentuan yang menyangkut pelaksanaan arbitrase internasional dalam UU Arbitrase dan APS tidak perlu dimaknai lagi karena pelaksanaan arbitrase internasional sudah jelas dan tegas sesuai tata cara hukum acara perdata. “Alasan pembatalan putusan UU Arbitrase dan APS berbeda dengan United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL),” kata Wicipto. 

Pasal 34 (1) UU Arbitase dan APS menyebutkan “Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Ayat (2)-nya menyebut “Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.”

Dia mengutip Pasal 34 UNCITRAL terkait persyaratan pembatalan putusan arbitrase (internasional). Pertama, satu atau para pihak tidak cakap. Kedua, pemberitahuan kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau proses arbitrase tidak dapat mempresentasikan perkaranya. Ketiga, penunjukan majelis arbitrase/prosedur arbitrase tidak sesuai kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan undang-undang. Keempat, pengadilan menemukan pokok perkara dalam sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut undang-undang negara tersebut atau putusan bertentangan dengan kepentingan umum.

“Menolak permohonan pengujian para pemohon atau tidak diterima dan menyatakan Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase dan APS tidak bertentangan dengan UUD 1945,” harapnya.

Menanggapi tanggapan pemerintah, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan ada penjelasan yang belum terjawab. Menurutnya yang paling dasar dipertanyakan pemohon adalah pendaftaran putusan arbitrase tidak memiliki tenggang waktu. Pemohon mengalami ngaret-nya pendaftaran putusan arbitrase selama 1,5 tahun setelah ada putusan. Setelah didaftarkan ke pengadilan, tiga bulan kemudian baru pemohon diberikan kabar dari pengadilan. Padahal pembatalan putusan arbitrase paling lama 30 hari. 

“Mestinya ada reasoning dari undang-undang ini apakah karena faktor geografis harus melalui perwakilan Indonesia yang ada di luar negeri atau harus melalui kedutaan, sehingga tidak diberi jangka waktu yang sedikit (bebas)?,” ujar Suhartoyo pada kesempatan yang sama. 

Terkait tidak adanya jangka waktu penyerahan putusan arbitrase internasional, Wicipto enggan mengomentari. “UU Arbitrase ini sudah cukup lama, kami perlu mencari sejarah pembahasannya, kenapa tidak ada batas waktu penyerahan/pendaftaran putusan arbitrase internasional, sementara pengajuan pembatalan putusan arbitrase diberi batas waktu,” katanya.

“Tetapi, kalau nantinya MK mengabulkan permohonan ini (terkait batasan waktu), kita akan perbaiki.”

Sebelumnya, Direktur PT Indiratex Spindo Ongkowijoyo Onggowarsito mempersoalkan Pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 UU Arbitrase dan APS. Sebab, Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase dan APS tidak mengatur batas akhir penyerahan putusan arbitrase internasional, sehingga penyerahan putusan arbitrase internasional bisa didaftarkan kapanpun.

Sementara tenggat waktu mengajukan pembatalan putusan arbitrase nasional/internasional hanya dibatasi 30 hari setelah pendaftaran/penyerahan seperti diatur Pasal 71 UU Arbitrase. Dalam perkara pemohon, tidak ada kejelasan kapan putusan arbitrase internasional akan didaftarkan. Belakangan diketahui putusan arbitrase internasional yang melibatkan pemohon baru didaftarkan ke PN Jakarta Pusat 1 tahun 5 bulan setelah diputuskan. 

Terlebih, setelah adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional itu, kliennya baru diberitahu 3 bulan setelah didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Akibat kekosongan hukum ini berakibat pemohon selaku termohon eksekusi kehilangan hak mengajukan upaya hukum permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional ke PN Jakarta Pusat.

Karena itu, pemohon meminta MK menghapus kedua pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Atau, Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Arbitrase dan APS dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “Putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal Putusan Arbitrase dijatuhkan.” Sementara Pasal 71 UU Arbitrase dan APS konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi.”
Tags:

Berita Terkait