Pemerintah Tegaskan Penetapan Kawasan Pabean Tidak Multitafsir
Berita

Pemerintah Tegaskan Penetapan Kawasan Pabean Tidak Multitafsir

Permohonan ini sejatinya bukan persoalan konstitusional norma, melainkan implementasi norma terkait kasus yang dialami pemohon.

ASH
Bacaan 2 Menit
Aktivitas peti kemas di pelabuhan. Foto: SGP
Aktivitas peti kemas di pelabuhan. Foto: SGP
Mantan Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong, Kalimantan Barat, Iwan Jaya mempersoalkan Pasal 5 ayat (3), dan (4) UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terkait penetapan kawasan pabean oleh Menteri. Pemohon - yang menjadi terdakwa korupsi yang diduga melanggar pasal itu - menganggap kedua pasal tersebut dianggap multitafsir.

Menanggapi permohonan ini, pemerintah menilai ketentuan Pasal 5 ayat (3), (4) UU Kepabeanan sudah jelas dan tidak multitafsir. Sebab, baik dari substansi kedua pasal itu berikut penjelasannya sudah menunjukan secara jelas dan tegas bahwa pemenuhan kewajiban pabean ada di Kantor Pabean.

“Syarat utama pemenuhan kewajiban kepabean ada di kantor pabean (Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai) yang ditetapkan Dirjen Bea dan Cukai. Sedangkan keberadaan kawasan pabean atau tempat lain dan pos pengawasan pabean hanya pendukung dalam proses pemenuhan pabean,” ujar Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi saat mewakili pemerintah dalam sidang uji materi UU Kepabeanan di gedung MK, Rabu (28/10).

Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan menyebutkan untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Ayat (4)-nya menyebutkan penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri.

Heru melanjutkan kawasan pabean merupakan kelengkapan memudahkan pelayanan dan pengawasan yang tidak mutlak dalam pemenuhan kewajiban pabean seperti diatur Pasal 10A ayat (1) UU Kepabeanan karena ada frasa “tempat lain”. Ketentuan itu menyebutkan barang impor yang diangkut sarana pengangkut wajib dibongkat di kawasan pabean atau dapat dibongkat di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean.

Menurutnya, Pasal 5 ayat (3), (4) UU Kepabeanan justru sejalan konstitusi atau tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, pemerintah tak sependapat dengan keinginan pemohon untuk mengubah atau menambah bagian penjelasan kedua pasal itu karena sudah jelas.

Lagipula, kata dia, permohonan ini sejatinya bukan persoalan konstitusional norma, melainkan implementasi norma terkait kasus yang dialami pemohon yang merupakan wewenang aparat penegak hukum. “Jadi, sebenarnya permohonan ini bukan kewenangan MK untuk mengubah penjelasan kedua pasal itu,” tutupnya.

Sebelumnya, pemohon telah didakwa melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memperbolehkan para importir melakukan kegiatan impor. Pemohon memasukkan barang dari Malaysia ke Indonesia dengan mengantongi pemberitahuan impor barang (PIB), invoice, dan packing list yang seolah-olah Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong kawasan pabean. Padahal, sejak 1995 sudah berlangsung kegiatan impor-ekspor di PPLB Entikong dan sudah menghasilkan penerimaan negara berupa BM, PNBP.

Menurutnya, terdapat perbedaan penafsiran Pasal 5 ayat (4) antara aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan instansi pemerintah (Ditjen Bea Cukai, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendagri). Aparat penegak hukum menganggap PPLB Entikong tidak bisa dilakukan kegiatan impor dengan PIB karena belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh menteri keuangan. Sedangkan instansi pemerintah menyatakan sebaliknya meski PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh menteri keuangan.

Karena itu, pemohon meminta MK menafsirkan Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan bahwa di PPLB Entikong bisa dilakukan kegiatan ekspor-impor dengan menggunakan dokumen PIB atau pemberitahuan ekspor barang (PEB) meski belum ada penetapan oleh Menteri Keuangan sebagai kawasan pabean.
Tags: