Pemerintah Susun RUU Perdagangan Perempuan dan Anak
Berita

Pemerintah Susun RUU Perdagangan Perempuan dan Anak

Perdagangan perempuan dan anak marak di beberapa daerah. Untuk mencegahnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah menyusun RUU Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak.

Amr
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Susun RUU Perdagangan Perempuan dan Anak
Hukumonline

Hingga kini, data akurat tentang berapa persisnya perempuan dan anak Indonesia yang dijual setiap tahunnya memang sulit untuk didapat. Hal ini disebabkan karena perdagangan perempuan dan anak dilakukan secara tertutup dengan transaksi-transaksi yang sulit diungkapkan.

 

Menurut Sekretaris Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartika Sari, kasus perdagangan perempuan dan anak jumlahnya terus meningkat. Dampak dari perdagangan perempuan adalah pemerkosaan terhadap anak laki-laki maupun perempuan.

 

Dian menceritakan, semalam ia mendapatkan informasi bahwa lima belas anak disodomi. Mereka berumur enam sampai delapan tahun, tiga belas di antaranya laki-laki dan dua di antaranya perempuan. "Sebulan yang lalu sudah lima belas lagi. Jadi kalau dengan yang tadi malam ini sudah tiga puluh," katanya dalam Dialog Publik dan Peluncuran Film Dokumenter Jual beli Perempuan di Jakarta (04/06).

 

Direktur LBH-APIK Pontianak, Hairiah, mengungkapkan berbagai fakta mengenai menjamurnya praktek perdagangan perempuan dan anak di Kalimantan Barat. Hairiah mengatakan bahwa penjualan perempuan di Kalbar saat ini berkedok pengiriman TKI/TKW. Di Kalbar, juga marak praktek human trafficking berupa mail order bride atau perkawinan dengan pesanan yang sasarannya adalah para amoy yang ditawarkan ke pria Taiwan.

 

Untuk mencegah dan memberantas kejahatan human trafficking tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah menyusun Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (RUU P3A).

 

Dalam penjelasan umum RUU P3A tersebut disebutkan latar belakang disusunnya RUU. Yaitu, karena larangan perdagangan perempuan dan anak yang diatur dalam pasal 297 KUHP sudah tidak memadai lagi. Alasannya, Pasal 297 KUHP tidak dapat diterapkan secara lintas negara sebagai kejahatan internasional atau transnasional.

 

Harus kejahatan terorganisasi

 

Guru besar hukum pidana internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Romli Atmasasmita, mengatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyusun draf RUU Perdagangan Orang adalah menyangkut proses kriminalisasinya.

Tags: